Rabu, 04 Mei 2011

Legalitas Tawassul / Istighatsah
Di Sebarluaskan Oleh : http://www.aswaja-nu.blogspot.com
1
Sumber :
http://salafyindonesia.wordpress.com
Tawassul / Istighatsah (1)
Kita nanti akan memasuki kajian legalitas “Tawassul / Istighatsah” yang sesuai dengan
ajaran syariat Islam agar kita tidak terjerumus dalam penentuan obyek
Tawassul/Istighatsah secara ‘liar’ sehingga menyebabkan kita terjerumus ke dalam jurang
bid’ah dan kesesatan, seperti yang dapat kita temukan dalam masyarakat kejawen di
Indonesia. Ataupun terjerumus ke dalam jurang ke-jumud-an dalam menentukan obyek
Tawassul / Istighatsah, sebagaimana yang dilakukan oleh kelompok sekte Wahabisme,
imbas dari kerancuan metodologi memahami teks. Baik kelompok ‘Kejawen’ maupun
‘Wahabi’ keduanya telah terjerumus ke dalam jurang ekstrimitas (ekstrim kiri dan
ekstrim kanan) yang mengakibatkan kerancuan dalam bersikap berkaitan dengan konsep
Tawassul/Istighatsah. Tentu kedua bentuk ekstrimitas tidak sesuai dengan apa yang
diinginkan oleh Islam.
————————————————————————————
Tawassul / Istighatsah (1)
Sebuah Pengantar
Hakekat “Tawassul” merupakan hal yang telah menjadikan kejelasan dalam Islam. Al-
Quran sebagai sumber utama agama Islam dalam sebuah ayatnya menyatakan: “Hai
orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan (wasilah) yang
mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat
keberuntungan” (QS Al-Maidah: 35). Dalam ayat tadi Allah SWT menjelaskan bahwa
ketakwaan dan jihad merupakan sarana legal untuk menyampaikan manusia kepada Allah
SWT.
Yang menjadi pertanyaan adalah; adakah sarana-sarana lain yang legal menurut syariat
Islam yang mampu menghantarkan manusia menuju Allah SWT, ataukah dalam
penentuan sarana-sarana tadi telah sepenuhnya diserahkan kepada manusia? Untuk
menjawab secara ringkas maka dapat kita katakana bahwa; jelas sekali bahwa penentuan
sarana pendekatan diri kepada Allah SWT tidak terdapat campur tangan manusia
sehingga dengan ijtihad pribadinya dapat menentukan sarana-sarana apapun untuk
mendekatkan diri kepada Allah SWT. Hanya sarana-sarana yang telah ditentukan oleh
syariat Islam –yang bersumber dari al-Quran dan as-Sunnah as-Sohihah Rasulullah
SAW- saja yang dapat menjadi penghantar manusia menuju Allah SWT. Sehingga dari
sini dapat kita simpulkan bahwa, semua sarana yang tidak mendapat legalitas syariat –
Legalitas Tawassul / Istighatsah
Di Sebarluaskan Oleh : http://www.aswaja-nu.blogspot.com
2
baik dengan dalil umum maupun khusus- maka tergolong bid’ah dan kesesatan yang
nyata. Dalam kesempatan kali ini, kita akan memasuki kajian legalitas
“Tawassul/Istighatsah” sesuai dengan ajaran syariat Islam, baik dari apa yang telah
dijelaskan oleh al-Quran, Sunnah Rasulullah maupun prilaku para Salaf Saleh dan Ulama
Salaf Ahlusunnah wal Jamaah. Sehingga kita tidak terjerumus dalam penentuan obyek
tawassul/Istighatsah secara ‘liar’ sehingga menyebabkan kita terjerumus ke dalam jurang
bid’ah dan kesesatan, seperti yang dapat kita temukan dalam masyarakat kejawen di
Indonesia. Ataupun terjerumus ke dalam jurang kejumudan dalam menentukan obyek
Tawassul/Istighatsah, sebagaimana yang dilakukan oleh kelompok sekte Wahabisme,
imbas dari kerancuan metodologi memahami teks. Baik kelompok ‘Kejawen’ maupun
‘Wahabi’ keduanya telah terjerumus ke dalam jurang ekstrimitas (ekstrim kiri dan
ekstrim kanan) yang mengakibatkan kerancuan dalam bersikap berkaitan dengan konsep
Tawassul/Istighatsah. Tentu kedua bentuk ekstrimitas itu tidak sesuai dengan apa yang
diinginkan oleh Islam.
Jika kita melihat beberapa kamus bahasa Arab yang sering dijadikan rujukan dalam
menentukan asal dan makna kata maka akan kita dapati bahwa, kata “Tawassul”
mempunyai arti dari ‘darajah’ (kedudukan), atau ‘Qurbah’ (kedekatan), atau ‘washlah’
(penyampai/penghubung). Sehingga sewaktu dikatakan bahwa ‘wasala fulan ilallah
wasilatan idza ‘amala ‘amalan taqarraba bihi ilaihi’ berarti ‘seseorang telah menjadikan
sarana penghubung kepada Allah melalui suatu pebuatan sewaktu melakukan pebuatan
yang dapat mendekatkan diri kepada-Nya’. (Lihat: Kitab Lisan al-‘Arab karya Ibn
Mandzur jilid 11 asal kata wa-sa-la). Begitu juga berkaitan dengan asal kata ‘ghatsa’
yang berarti ‘menolong’ yang dengan memakai bentuk (wazan) ‘istaf’ala’ yang kemudian
menjadi ‘istighatsah’ yang berarti ‘mencari/meminta pertolongan’. Pengertian-pengertian
semacam ini pun akan kita dapati dalam berbagai kamus-kamus bahasa Arab terkemuka
lainnya.
Berkaitan dengan konsep Tawassul dan Istighatsah ini, terdapat perbedaan pendapat di
kalangan beberapa kelompok. Letak perbedaannya dalam masalah penentuan obyekobyek
tawassul dan istighatsah yang dilegalkan oleh syariat Islam. Dikarenakan terjadi
perbedaan pendapat dalam penentuan obyek maka terjadi ikhtilah juga dalam
menghukuminya. Dari perbedaan hukum tadilah akhirnya muncul ‘penyesatan’ dari
kelompok yang belum dewasa dalam menerima perbedaan, merasa benar sendiri, tidak
menganggap pendapat kelompok lain, bahkan menganggap kelompok lain tadi telah
berbuat yang dilarang oleh Islam, bid’ah atau syirik.
Legalitas Tawassul / Istighatsah
Di Sebarluaskan Oleh : http://www.aswaja-nu.blogspot.com
3
Di sini, kita akan mengkalasifikasikan pendapat-pendapat tersebut menjadi tiga bagian.
A- Pertama: Pendapat Sekte Wahabisme
Dalam hal ini, kita akan menukilkan pendapat Muhammad bin Abdul Wahhab an-Najdi
(pelopor dan pendiri sekte Wahabisme) yang dalam kita “Kasyfus Syubuhaat”
menyatakan: “Jika ada sebagian orang musyrik (muslim non-Wahaby .red) mengatakan
kepadamu; “Ingatlah, Sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap
mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati (QS Yunus: 62)”, atau mengatakan bahwa
syafa’at adalah benar, atau mengatakan bahwa para nabi memiliki edudukan di sisi Allah,
atau mengungkapkan perkataan Nabi untuk berargumen menetapkan kebatilannya
(seperti Syafa’at, Tawassul/Istighatsah, Tabarruk…dst. Red) sedang kalian tidak
memahaminya (tidak bisa menjawabnya) maka katakanlah: Sesungguhnya Allah dalam
al-Quran menjelaskan bahwa orang-orang yang menyimpang adalah orang yang
meninggalkan ayat-ayat yang jelas (muhkam) dan mengikuti yang samar (mutasyabih)”.
(Lihat: Kitab Kasyfus Syubuhaat halaman 60). Di sini jelas sekali bahwa Muhammad bin
Abdul Wahhab menyatakan ‘sesat’ (bahkan menuduh musyrik) orang-orang yang
meyakini adanya syafaat, kedudukan tinggi para nabi di sisi Allah sehingga dimintai
istighatsah/tawassul…dst. Bahkan di sini, Muhammad bin Abdul Wahhab mengajarkan
kepada para pengikutnya “trik melarikan diri” dari diskusi tentang doktrinan sektenya
dengan kelompok lain dengan cara melarikannya kepada pembagian tasyabuh dan
muhkam ayat-ayat al-Quran. Termasuk trik mengajak para pengkritisi ajaran Wahabisme
untuk bertobat ‘tanpa terbukti’ kesalahannya. Ternyata, akhirnya ‘trik-trik licik’ ini pun
yang sering dipakai banyak para pengikut sekte Wahaby ketika terpepet dalam
berargumentasi ketika membela keyakinan wahabismenya, bahkan menjadi ‘kebiasaan
buruk’ mayoritas para pengikut sekte tersebut.
Contoh lain. Nashiruddin al-Bani -yang konon- adalah seorang ahli hadis dari kalangan
Wahaby pun pernah menyatakan dalam salah satu karyanya yang berjudul “at-Tawassul;
Ahkaamuhu wa Anwa’uhu” (Tawassul; hukum-hukum dan jenis-jenisnya) begitu juga
dalam mukaddimahnya atas kitab “Syarh at-Thawiyah” (Lihat: di halaman 60 dari kitab
Syarh Thahawiyah) dia mentakan bahwa; “Sesungguhnya masalah tawassul bukanlah
tergolong masalah akidah”.
Dan contoh lainnya adalah apa yang dinyatakan oleh Abdullah bin Baz seorang mufti
Wahaby: “Barangsiapa yang meminta (istighatsah/tawassul) kepada Nabi dan meminta
syafaat darinya maka ia telah merusak keislamannya” (Lihat: Kitab Al-‘Aqidah as-
Shohihah wa Nawaqidh al-Islam).
Legalitas Tawassul / Istighatsah
Di Sebarluaskan Oleh : http://www.aswaja-nu.blogspot.com
4
B- Kedua: Pendapat Ahlusunnah wal Jamaah (bahkan Islam secara keseluruhan).
Terlampau banyak contoh fatwa ulama Ahlusunnah dalam menjelaskan legalitas
Tawassul/Istighatsah ini. Insya-Allah pada kesempatan selanjutnya akan lebih kita
perjelas mengenai ungkapan-ungkapan mereka. Namu di sini kita akan memberikan
contoh beberapa tokoh dari mereka saja.
1- Imam Ibn Idris as-Syafi’i sendiri permnah menyatakan: “Sesungguhnya aku telah
bertabarruk dari Abu Hanifah (pendiri mazhab Hanafi .red) dan mendatangi kuburannya
setiap hari. Jika aku memiliki hajat maka aku melakukan shalat dua rakaat dan lantas
endatangi kuburannya dan meminta kepada Allah untuk mengabulkan doaku di sisi
(kuburan)-nya. Maka tidak lama kemudian akan dikabulkan” (Lihat: Kitab Tarikh
Baghdad jilid 1 halaman 123 dalam bab mengenai kuburan-kuburan yang berada di
Baghdad)
2- As-Samhudi yang bermazhab Syafi’i menyatakan; “Terkadang orang bertawassul
kepadanya (Nabi SAW .red) dengan meminta pertolongan berkaitan suatu perkara. Hal
itu memberikan arti bahwa Rasul memiliki kemampuan untuk memenuhi permintaan dan
memberikan syafaatnya kepada Tuhannya. Maka hal itu kembali kepada permohonan
doanya. Walaupun terdapat perbedaan dari segi pengibaratannya. Kadangkala seseorang
meminta; aku memohon kepadamu (wahai Rasul .red) untuk dapat menemanimu di
sorga…tiada yang dikehendakinya malainkan bahwa Nabi SAW menjadi sebab dan
pemberi syafaat” (Lihat: Kitab Wafa’ al-Wafa’ bi Akhbar Daarul Mustafa karya as-
Samhudi Jilid 2 halaman 1374)
3- As-Syaukani az-Zaidi pernah menyatakan akan legalitas tawassul dalam kitab
karyanya yang berjudul “Tuhfatudz Dzakiriin” dengan mengatakan: “Dan bertawassul
kepada Allah melalui para nabi dan manusia saleh”. (Lihat: Kitab Tuhfatudz Dzakiriin
halaman 37)
4- Abu Ali al-Khalal salah seorang tokoh mazhab Hambali pernah menyatakan: “Tiada
perkara yang membuatku gunda kecuali aku pergi ke kuburan Musa bin Jakfar (salah
seorang cucu Rasulullah yang dianggap salah seorang Imam oleh Syiah .Red) dan aku
bertawasul kepadanya melainkan Allah akan memudahkannya bagiku sebagaimana yang
kukehendaki” (Lihat: Kitab Tarikh Baghdad jilid 1 halaman 120 dalam bab kuburankuburan
yang berada di Baghdad).
Legalitas Tawassul / Istighatsah
Di Sebarluaskan Oleh : http://www.aswaja-nu.blogspot.com
5
C- Ketiga: Pendapat Ibnu Taimiyah al-Harrani
Jika kita telaah beberapa karya Ibnu Taimiyah maka akan kita dapati bahwa ia telah
mengalami kebingungan dalam menentukan masalah ini. Kita akan dapati bahwa
terkadang ia mengingkarinya, terjadang membolehkannya, dan terkadang menjawabnya
dengan membagi-baginya. Untuk lebih jelasnya, mari kita lihat apa yang telah ditulisnya
dalam salah satu kitab yang berjudul “At-Tawassul wal Wasilah” dimana ia membagi
Tawassul menadi tiga kategori, ia mengatakan:
1- Tawassul dengan ketaatan Nabi dan keimanan kepadanya. Ini tergolong asal muasal
Iman dan Islam. barangsiapa yang mengingkarinya berarti telah mengingkarinya (kufur)
terhadap hal yang umum dan yang khusus.
2- Tawassul dengan doa dan syafa’at Nabi -dalam arti bahwa Nabi secara langsung dapat
memberi syafaat dan mendengar doa- semasa hidupnya dan sehingga di akherat kelak
mereka akan bertawassul kepadanya untuk mendapat syafaatnya. Barangsiapa yang
mengingkari hal tersebut maka dia tergolong kafir murtad dan harus dimintai tobatnya.
Jika tidak tobat maka ia harus dibunuh karena kemurtadannya.
3- Tawassul untuk mendapat syafaatnya pasca kematiannya. Sungguh ini merupakan
bid’ah yang dibuat-buat. (Lihat; Kitab At-Tawassul wal Wasilah karya Ibnu Taimiyah
halaman 13/20/50)
Jadi jelaslah bahwa Ibnu Taimiyahpun tergolong orang yang tidak mengingkari legalitas
tawassul, walaupun dalam beberapa hal ia nampak rancu dalam menentukan sikapnya.
Dari penjelasan di atas tadi membuktikan bahwa, pengkategorian bid’ah dalam tawassul
versi Ibnu Taimiyah terletak pada hidup dan matinya obyek yang ditawassuli. Benarkah
demikian? Kita akan buktikan -nanti- bahwa pernyataan Ibnu Taimiyah itu tidak sesuai
dengan ajaran Islam itu sendiri.
Yang perlu saya perjelas dari ungkapan saya di atas berkaitan dengan pendapat kedua
“Islam secara keseluruhan” melegalkan konsep dan praktik Tawassul/Istighatsah kepada
Nabi dan orang-orang saleh adalah, bukan hanya Ahlusunnah wal Jamaah saja (termasuk
ahli tasawwuf), bahkan kelompok Syiah pun meyakininya. Jadi Sufi dan Syiah kedua
kelompok yang paling dibenci oleh kaum Wahhaby pun memiliki kesamaan –juga dalam
banyak hal yang dituduhkan Wahaby terhadap Ahlusunnah- dengan kelompok
Ahlusunnah. Jadi dalam masalah ini –terkhusus masalah Tawassul/Istighatsah, juga
masalah-masalah lain yang dinyatakan syirik dan bid’ah oleh sekte Wahaby- ternyata
Legalitas Tawassul / Istighatsah
Di Sebarluaskan Oleh : http://www.aswaja-nu.blogspot.com
6
kelompok Salafy gadungan itu (Wahaby) sendirian, selain karena mereka juga tidak
memiliki dalil yang kuat baik bersandarkan dari al-Quran, sunnah Rasul, dan perilaku
Salaf Saleh. Dengan kata yang lebih singkat dan mengena; “Dalam masalah ini
Wahabisme akan berhadapan dengan Islam”. Kita akan buktikan pada pertemuan
selanjutnya.
Bersambung…
Tawassul / Istighatsah (2)
Ayat-Ayat al-Quran tentang Legalitas Tawassul / Istighotsah
Sekarang yang menjadi pertanyaan kita untuk kaum pengikut sekte Wahhaby adalah;
Jikalau istighotsah adalah syirik, lantas apakah mungkin para nabi-nabi Allah tadi
membiarkan umat mereka melakukan syirik padahal mereka di utus untuk menumpas
segala macam bentuk syirik? Jikalau istighotsah dan tawassul syirik, apakah mungkin
mereka mengiyakan permintaan kaum musyrik yang justru akan menyebabkan mereka
berlebihan dalam melakukan kesyirikan, berarti para nabi itu telah melakukan tolong
menolong terhadap dosa dan permusuhan (ta’awun ‘alal istmi wal ‘udwan)?
Naudzubillah min dzalik. Jika istighotsah dan tawassul adalah perbuatan sia-sia maka,
apakah mungkin para nabi membiarkan –bahkan meridhoi dan mengajarkan- umat
mereka melakukan perbuatan sia-sia dimana kita tahu bahwa pebuatan sia-sia adalah
perbuatan yang tercela bagi makhluk yang berakal? Apakah para nabi tidak tahu bahwa
Allah Maha mendengar dan lagi Maha mengetahui sehingga membiarkan, meridhoi dan
bahkan mengajarkan umatnya ajaran tawassul dan istighotsah?
———————————————————————
Tawassul / Istighatsah (2)
Ayat-Ayat al-Quran tentang Legalitas Tawassul / Istighotsah
Setelah kita melihat secara ringkas pembagian pendapat beberapa kelompok berkaitan
dengan legalitas Tawassul / istighotsah, pada kesempatan kali ini kita akan mengkaji
secara global ayat-ayat al-Quran -yang menjadi pedoman utama kaum muslimin- yang
menjelaskan tentang konsep tersebut.
Legalitas Tawassul / Istighatsah
Di Sebarluaskan Oleh : http://www.aswaja-nu.blogspot.com
7
Dalam pandangan al-Quran akan kita dapati bahwa hakekat Istighotsah / Tawassul adalah
merupakan salah satu pewujudan dari peribadatan yang legal dalam syariat Allah SWT.
Ini merupakan hal yang jelas dalam ajaran al-Quran sehingga tidak mungkin dapat
dipungkiri oleh muslim manapun, hatta kalompok Wahhaby, jika mereka masih
mempercayai kebenaran al-Quran. Dalam al-Quran akan kita dapati beberapa contoh dari
permohonan pertolongan (istighotsah) dan pengambilan sarana (tawassul) para pengikut
setia para nabi dan kekasih Ilahi yang berguna untuk mendekatkan diri kepada Allah
SWT. Hal itu agar supaya Allah SWT mengabulkan doa dan hajatnya dengan segera. Di
sini kita akan memberi beberapa contoh yang ada:
1- Dalam surat Aali Imran ayat 49, Allah SWT berfirman: “Dan (sebagai) Rasul kepada
Bani Israil (yang Berkata kepada mereka): “Sesungguhnya Aku Telah datang kepadamu
dengan membawa sesuatu tanda (mukjizat) dari Tuhanmu, yaitu Aku membuat untuk
kamu dari tanah berbentuk burung; Kemudian Aku meniupnya, Maka ia menjadi seekor
burung dengan seizin Allah; dan Aku menyembuhkan orang yang buta sejak dari lahirnya
dan orang yang berpenyakit sopak; dan Aku menghidupkan orang mati dengan seizin
Allah; dan Aku kabarkan kepadamu apa yang kamu makan dan apa yang kamu simpan di
rumahmu. Sesungguhnya pada yang demikian itu adalah suatu tanda (kebenaran
kerasulanku) bagimu, jika kamu sungguh-sungguh beriman”.
Dalam ayat di atas disebutkan bahwa para pengkut Isa al-Masih bertawassul kepadanya
untuk memenuhi hajat mereka, termasuk menghidupkan orang mati, menyembuhkan
yang berpenyakit sopak dan buta. Tentu, mereka bertawassul kepada nabi Allah tadi
bukan karena mereka meyakini bahwa Isa al-Masih memiliki kekuatan dan kemampuan
secara independent dari kekuatan dan kemampuan Maha Sempurna Allah SWT, sehingga
tanpa bantuan Allah-pun Isa mampu melakukan semua hal tadi. Mereka meyakini bahwa
Isa al-Masih dapat melakukan semua itu (memenuhi berbagai hajat mereka) karena Isa
memiliki ‘kedudukan khusus’ (jah / wajih) di sisi Allah, sebagai kekasih Allah, sehingga
apa yang diinginkan olehnya niscaya akan dikabulkan oleh Allah SWT. Ini bukanlah
tergolong syirik, karena syirik adalah; “meyakini kekuatan dan kemampuan Isa al-Masih
(makhluk Allah) secara independent dari kekuatan dan kemampuan Allah”. Dan tentu,
muslimin sejati tidak akan meyakini hal tersebut. Namun aneh jika kelompok Wahhaby
langsung menvonis musyrik bagi pelaku istighotsah kepada para kekasih Ilahi semacam
itu.
Legalitas Tawassul / Istighatsah
Di Sebarluaskan Oleh : http://www.aswaja-nu.blogspot.com
8
2- Dalam surat Yusuf ayat 97, Allah SWT berfirman: “Mereka berkata: “Wahai ayah
kami, mohonkanlah ampun bagi kami terhadap dosa-dosa kami, Sesungguhnya kami
adalah orang-orang yang bersalah (berdosa)””.
Jika kita teliti dari ayat di atas maka akan dapat diambil pelajaran bahwa, para anak-anak
Yakqub mereka tidak meminta pengampunan dari Yakqub sendiri secara independent
tanpa melihat kemampuan dan otoritas mutlak Ilahi dalam hal pengampunan dosa.
Namun mereka jadikan ayah mereka yang tergolong kekasih Ilahi (nabi) yang memiliki
kedudukan khusus di mata Allah sebagai wasilah (sarana penghubung) permohonan
pengampunan dosa dari Allah SWT. Dan ternyata, nabi Yakqub pun tidak menyatakan
hal itu sebagai perbuatan syirik, atau memerintahkan anak-anaknya agar langsung
memohon kepada Allah SWT karena Allah Maha mendengarkan segala permohonan dan
doa, malahan Yakqub menjawab permohonan anak-anaknya tadi dengan ungkapan:
“Ya’qub berkata: “Aku akan memohonkan ampun bagimu kepada Tuhanku.
Sesungguhnya Dia-lah yang Maha Pengampun lagi Maha penyayang””(QS Yusuf: 98).
3- Dalam surat an-Nisa’ ayat 64, Allah SWT berfirman: “Dan kami tidak mengutus
seseorang Rasul melainkan untuk ditaati dengan seizin Allah. Sesungguhnya Jikalau
mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada
Allah, dan rasulpun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati
Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang”.
Dari ayat di atas juga dapat diambil pelajaran yang esensial yaitu bahwa, Rasululah SAW
sebagai makhluk Allah yang terkasih dan memiliki kedudukan (jah / maqom / wajih)
yang sangat tinggi di sisi Allah sehingga diberi otoritas oleh Allah untuk menjadi
perantara (wasilah) dan tempat meminta pertolongan (istighotsah) kepada Allah SWT.
Dan terbukti (nanti kita akan perjelas dalam kajian mendatang) bahwa banyak dari para
sahabat mulia Rasul yang tergolong Salaf Saleh menggunakan kesempatan emas tersebut
untuk memohon ampun kepada Allah SWT melalui perantara Rasulullah SAW. Hal ini
yang menjadi kajian para penulis Ahlusunnah wal Jamaah dalam mengkritisi ajaran
Wahhabisme, termasuk orang seperti Umar Abdus Salam dalam karyanya “Mukhalafatul
Wahhabiyah” (Lihat: halaman 22).
Sekarang yang menjadi pertanyaan kita untuk kaum pengikut sekte Wahhaby adalah;
Jikalau istighotsah adalah syirik, lantas apakah mungkin para nabi-nabi Allah tadi
membiarkan umat mereka melakukan syirik padahal mereka di utus untuk menumpas
segala macam bentuk syirik? Jikalau istighotsah dan tawassul syirik, apakah mungkin
mereka mengiyakan permintaan kaum musyrik yang justru akan menyebabkan mereka
Legalitas Tawassul / Istighatsah
Di Sebarluaskan Oleh : http://www.aswaja-nu.blogspot.com
9
berlebihan dalam melakukan kesyirikan, berarti para nabi itu telah melakukan tolong
menolong terhadap dosa dan permusuhan (ta’awun ‘alal istmi wal ‘udwan)?
Naudzubillah min dzalik. Jika istighotsah dan tawassul adalah perbuatan sia-sia maka,
apakah mungkin para nabi membiarkan –bahkan meridhoi dan mengajarkan- umat
mereka melakukan perbuatan sia-sia dimana kita tahu bahwa pebuatan sia-sia adalah
perbuatan yang tercela bagi makhluk yang berakal? Apakah para nabi tidak tahu bahwa
Allah Maha mendengar dan lagi Maha mengetahui sehingga membiarkan, meridhoi dan
bahkan mengajarkan umatnya ajaran tawassul dan istighotsah?
Jikalau benar bahwa ajaran Istighotsah / tawassul adalah perbuatan syirik, bid’ah, sia-sia,
khurafat, akibat tidak mengenal Allah yang Maha mendengar doa, dst….maka Oh betapa
bodohnya –naudzuillah min dzalik- para nabi Allah itu tentang konsep ajaran Allah…dan
Oh betapa cardasnya –naudzubillah min dzalik- Muhammad bin Abdul Wahhab an-Najdi
beserta para pengikut sektenya terhadap ajaran murni Ilahi….
Oleh karena itu wahai saudara-saudaraku muslimin, marilah kita simak kebodohankebodohan
Wahhaby tentang berbagai ajaran Ilahi berdasarkan ayat-ayat al-Quran, as-
Sunnah Rasulillah, prilaku Salaf Saleh dan fatwa para pemuka mazhab Ahlusunnah,
walaupun para pengikut Wahhaby tetap merasa benar sendiri dengan bekal kecongkakan
dan kebodohannya.
Bersambung….
Tawassul / Istighatsah (3)
Ayat-Ayat al-Quran tentang Obyek Tawassul / Istighotsah
Jika ada kelompok muslim yang membolehkan menjadikan ‘doa’ manusia saleh sebagai
sarana (wasilah) menuju ridho Allah maka menjadikan sarana (wasilah) kepribadian (dzat
/ syakhsyiyah) dan kedudukan (jah / maqom / manzilah / karamah / fadhilah) manusia
saleh tadi pun lebih utama untuk diperbolehkan. Karena antara ‘sarana pengkabulan doa’
dan ‘sarana kedudukan/kepribadian agung manusia saleh’ terdapat relasi erat dan
menjadio konsekuensi logis, riil dan legal (syar’i). Memisahkan antara keduanya sama
halnya memisahkan dua hal yang memiliki relasi erat, bahkan sampai pada derajat
hubungan sebab-akibat. Karena, pengkabulan doa manusia saleh oleh Allah disebabkan
karena kepribadiannya yang luhur, dan kepribadian luhur itulah yang menyebabkan
kedudukan mereka diangkat oleh Allah SWT.
Legalitas Tawassul / Istighatsah
Di Sebarluaskan Oleh : http://www.aswaja-nu.blogspot.com
10
———————————————————————————
Tawassul / Istighatsah (3)
Ayat-Ayat al-Quran tentang Obyek Tawassul / Istighotsah
Dalam al-Quran, Allah SWT telah menekankan kepada umat Muhammad SAW untuk
melaksanakan tawassul, dan Ia telah mengizinkan mereka untuk melakukan tawassul
dengan berbagai jenis dan bentuknya. Ini semua menjadi bukti bahwa tawassul sama
sekali tidak bertentangan dengan konsep kesempurnaan Ilahi, termasuk dengan ke-Maha
Mendengar-an dan ke-Maha Mengetahui-an Allah terhadap doa hamba-hamba-Nya,
apalagi dengan kesia-siaan perbuatan tawassul. Di sini, kita akan sebutkan secara ringkas
beberapa bentuk tawassul yang dilegalkan menurut al-Quran;
1- Tawassul dengan Nama-Nama Agung Allah
Allah SWT berfirman: “Hanya milik Allah asmaa-ul husna, Maka bermohonlah kepada-
Nya dengan menyebut asmaa-ul husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang
menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya. nanti mereka akan
mendapat balasan terhadap apa yang Telah mereka kerjakan.” (QS al-A’raf: 180)
Ayat di atas dalam rangka menjelaskan tentang kebaikan nama-nama Allah tanpa ada
perbedaan dari nama-nama itu. Dan melalui nama-nama penuh berkah itulah kita
diperkenankan untuk berdoa kepada Allah. Tentu nama Allah bukan Dzat Allah sendiri.
Akan tetapi melalui nama-nama Allah yang memiliki kandungan sifat keindahan, rahmat,
ampunan dan keagungan itulah kita disuruh memohon kepada Dzat Allah SWT, obyek
utama doa, untuk pengkabulan segala hajat dan pengampunan dosa.
2- Tawassul melalui Amal Saleh
Amal saleh merupakan salah satu jenis sarana (wasilah) yang dilegalkan oleh Allah SWT.
Amal saleh juga bukan Dzat Allah itu sendiri, namun Allah membolehkan kita
mengambil sarana darinya untuk memohon sesuatu kepada Dzat Allah SWT. Melalui
sarana tersebut seorang hamba akan didengar semua keinginannya oleh Allah. Ketika
tawassul berarti; “Mempersembahkan (menyodorkan) sesuatu kepada Allah demi untuk
mendapat Ridho-Nya” maka tanpa diragukan lagi bahwa amal saleh adalah salah satu
dari sekian sarana yang baik untuk mendapat ridho Ilahi. Hal ini sebagaimana yang
dilakukan oleh Nabi Ibrahim AS ketika pertama kali membangun Ka’bah. Allah dalam
al-Quran berfirman: “Dan (ingatlah), ketika Ibrahim meninggikan (membina) dasar-dasar
Legalitas Tawassul / Istighatsah
Di Sebarluaskan Oleh : http://www.aswaja-nu.blogspot.com
11
Baitullah bersama Ismail (seraya berdoa): “Ya Tuhan kami terimalah daripada kami
(amalan kami), Sesungguhnya Engkaulah yang Maha mendengar lagi Maha
Mengetahui”. Ya Tuhan kami, jadikanlah kami berdua orang yang tunduk patuh kepada
Engkau dan (jadikanlah) diantara anak cucu kami umat yang tunduk patuh kepada
Engkau dan tunjukkanlah kepada kami cara-cara dan tempat-tempat ibadat haji kami, dan
terimalah Taubat kami. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Penerima Taubat lagi Maha
Penyayang” (QS al-Baqarah 127-128)
Ayat di atas menjelaskan bagaimana hubungan antara Amal Saleh (pembangunan
Ka’bah) dengan keinginan Ibrahim al-Khalil agar Allah menjadikan dirinya, anakcucunya
sebagai muslim sejati dan agar Allah menerima taubatnya.
3- Tawassul melalui Doa Rasul
Allah SWT dalam al-Quran (dalam banyak ayat) menyebutkan betapa agung kedudukan
para Nabi dan Rasul di sisi-Nya. Allah SWT juga menekankan bahwa mereka adalah
manusia-manusia khusus yang berbeda secara kualitas maupun kuantatitas bobot
penciptaan yang mereka miliki dibanding manusia biasa, apalagi berkaitan dengan
pribadi agung Muhammad bin Abdillah SAW sebagai penghulu para Nabi dan Rasul.
Atas dasar itu, jika kita lihat, dalam masalah seruan (panggilan) saja –yang nampaknya
remeh- para manusia diperintah untuk menyamakannya dengan seruan terhadap manusia
biasa lainnya. Allah SWT berfirman: “Janganlah kamu jadikan panggilan Rasul diantara
kamu seperti panggilan sebahagian kamu kepada sebahagian (yang lain). Sesungguhnya
Allah Telah mengetahui orang-orang yang berangsur- angsur pergi di antara kamu
dengan berlindung (kepada kawannya), Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi
perintah-Nya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih” (QS an-Nur: 63)
Bahkan dalam kesempatan lain Allah SWT juga menjelaskan, betapa manusia agung
pemilik kedudukan (jah) tinggi di sisi Allah SWT itu telah mampu menjadi pengaman
bagi penghuni bumi ini dari berbagai bencana. Allah SWT berfirman: “Dan Allah sekalikali
tidak akan mengazab mereka, sedang kamu berada di antara mereka. dan tidaklah
(pula) Allah akan mengazab mereka, sedang mereka meminta ampun” (QS al-Anfal: 33).
Bahkan dalam banyak kesempatan (ayat), Allah SWT menyandingkan nama-Nya dengan
nama Rasulullah SAW dan menyatakan bahwa perbuatan keduanya dinyatakan sebagai
berasal dari sumber yang satu. Ini sebagai bukti, betapa tinngi, agung dan mulianya sosok
Nabi Muhammad SAW di mata Allah SWT. Sebagai contoh, apa yang dinyatakan Allah
SWT dalam al-Quran yang berbunyi: “Mereka (orang-orang munafik) mengemukakan
‘uzurnya kepadamu, apabila kamu Telah kembali kepada mereka (dari medan perang).
Legalitas Tawassul / Istighatsah
Di Sebarluaskan Oleh : http://www.aswaja-nu.blogspot.com
12
Katakanlah: “Janganlah kamu mengemukakan ‘uzur; kami tidak percaya lagi kepadamu,
(karena) Sesungguhnya Allah Telah memberitahukan kepada kami beritamu yang
sebenarnya. dan Allah serta rasul-Nya akan melihat pekerjaanmu, Kemudian kamu
dikembalikan kepada yang mengetahui yang ghaib dan yang nyata, lalu dia
memberitahukan kepadamu apa yang Telah kamu kerjakan” (QS at-Taubah: 94).
Atau ayat yang berbunyi: “Mereka (orang-orang munafik itu) bersumpah dengan (nama)
Allah, bahwa mereka tidak mengatakan (sesuatu yang menyakitimu). Sesungguhnya
mereka Telah mengucapkan perkataan kekafiran, dan Telah menjadi kafir sesudah Islam
dan mengingini apa yang mereka tidak dapat mencapainya, dan mereka tidak mencela
(Allah dan Rasul-Nya), kecuali Karena Allah dan rasul-Nya Telah melimpahkan karunia-
Nya kepada mereka. Maka jika mereka bertaubat, itu adalah lebih baik bagi mereka, dan
jika mereka berpaling, niscaya Allah akan mengazab mereka dengan azab yang pedih di
dunia dan akhirat; dan mereka sekali-kali tidaklah mempunyai pelindung dan tidak (pula)
penolong di muka bumi” (QS at-Taubah: 74)
dan masih banyak ayat lainnya yang menjadi bukti bahwa Rasulullah SAW adalah
makhluk termulia dan memiliki kedudukan khusus di sisi Khaliknya.
Jika kita telah mengetahui kedudukan tinggi Rasul semacam ini maka kita akan mendapat
kepastian (tentu dengan berdasar dalil) bahwa permohonan doa –tentu doa yang baikdengan
menjadikan Rasul sebagai sarana (wasilah) niscaya Allah SWT akan enggan
menolak permintaan kita dengan membawa nama kekasih-Nya tersebut.
Dengan menyebut nama Rasulullah Muhammad bin Abdullah SAW maka kita telah
menyeru Allah SWT dengan berpegangan terhadap tonggak yang sangat kokoh yang
tidak akan tergoyahkan. Atas dasar itu, Allah SWT memerintahkan kepada para pelaku
dosa dari kaum muslimin untuk berpegangan dengan tonngak yang tak tergoyahkan
tersebut (hakekat Muhammad Rasulullah SAW) dan meminta pengampunan di setiap
majlis mereka, baik untuk dirinya maupun untuk orang lain.
Karena melalui permohonan ampun melalui hakekat pribadi Muhammad SAW adalah
kunci dari penyebab turunnya rahmat, pengampunan dan ridho Allah SWT. Dalam hal ini
Allah SWT berfirman: “Dan kami tidak mengutus seseorang Rasul melainkan untuk
ditaati dengan seizin Allah. Sesungguhnya Jikalau mereka ketika menganiaya dirinya
datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan rasulpun memohonkan
ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima Taubat lagi
Maha Penyayang” (QS an-Nisa’: 64).
Legalitas Tawassul / Istighatsah
Di Sebarluaskan Oleh : http://www.aswaja-nu.blogspot.com
13
Ayat tadi dikuatkan dengan ayat lainnya, seperti firman Allah SWT: “Dan apabila
dikatakan kepada mereka: marilah (beriman), agar Rasulullah memintakan ampunan
bagimu, mereka membuang muka mereka dan kamu lihat mereka berpaling sedang
mereka menyombongkan diri” (QS al-Munafiqqun: 5). Semua itu sebagai sedikit bukti
bahwa Rasulullah SAW memiliki kedudukan, kemualiaan dan keagungan di mata Allah
SWT, Pencipta dan Penguasa alam semesta.
Hakekat tersembunyi dari pribadi agung Muhammad semacam ini hanya akan bisa
dipahami dan diyakini dengan baik oleh pribadi-pribadi yang mengenal betul siapakah
gerangan Muhammad bin Abdillah SAW tadi. Bagi orang yang belum mengenal diri
baginda Rasul niscaya ia akan meragukannya, karena masih mengaggap Rasul sebagai
manusia biasa, selayaknya manusia biasa lainnya. Anggapan kerdil semacam inilah yang
menyebabkan beberapa pengikut sekte Wahaby terjerumus ke lembah penyesatan
kelompok lain yang mengetahui rahasia keagungan Rasul sewaktu mereka memuji
Rasulullah SAW dengan pujian-pujian yang bersumber dari al-Quran dan Hadis sahih,
baik pujian yang terjelma dalam kitab-kitab maulid maupun kitab-kitab ratib. Rahasia
hakekat Muhammad –dan nabi-nabi lain- ini pulalah yang akan kita jadikan dalil
“Legalitas Tawassul kepada Pribadi Agung yang secara Zahir telah Meninggal”, pada
kesempatan mendatang.
4- Tawassul melalui Doa Saudara Mukmin
Salah satu sarana lain yang disinggung oleh Allah SWT dalam al-Quran adalah, doa
saudara mukmin. Dalam al-Quran, Allah SWT berfirman: “Dan orang-orang yang datang
sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka berdoa: “Ya Rabb kami, beri ampunlah
kami dan Saudara-saudara kami yang Telah beriman lebih dulu dari kami, dan janganlah
Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman;
Ya Rabb kami, Sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.”” (QS al-
Hasyr: 10). Ayat di atas menjelaskan bahwa kaum mukmin yang datang terakhir telah
mendoakan untuk mendapat pengampunan bagi kaum mukmin yang terdahulu. Ayat ini
selain membuktikan bahwa doa kepada orang terdahulu sangat ditekankan oleh Islam,
juga bisa menjadi bukti global bahwa memberi hadiah doa kepada yang telah mati –walau
bukan anak serta famili (kerabat)- akan dapat sampai dan bermanfaat buat sang mayit di
alam sana.
Legalitas Tawassul / Istighatsah
Di Sebarluaskan Oleh : http://www.aswaja-nu.blogspot.com
14
5- Tawassul melalui Diri Para Nabi dan Hamba Saleh
Bagian dari tawassul ini berbeda dengan bagian sebelumnya (lihat no 3). Jika pada
kesempatan yang lalu disebutkan mengenai tawassul melalui doa Nabi maka pada
kesempatan kali ini kita diberitahukan tentang tawassul kepada diri dan pribadi Nabi agar
menjadi sarana pengkabulan doa, karena mereka memiliki kedudukan (jah) di sisi Allah
SWT. Sebagai contoh apa yang dilakukan nabi Ayyub dengan baju bekas dipakai
(melekat di badan) oleh Yusuf sebagai sarana (wasilah) kesembuhannya dari kebutaan,
berkat izin Allah SWT. Jelas sekali perbedaan antara tawassul melalui doa Nabi, dengan
tawassul melalui diri Nabi.
Jadi, di sini kita diberitahukan tentang legalitas tawassul kepada Allah melalui keutamaan
(fadhilah), kedudukan (jah), kemuliaan (karamah) dan keagungan (adzamah) pribadi
Nabi/Rasul di sisi Allah SWT. Ini merupakan bentuk anugerah khusus (‘inayah khasshah)
yang Allah berikan kepada para nabi dan rasul, juga para kekasih-Nya yang lain. Jadi
sarana (wasilah) yang dijanjikan Allah SWT itu diletakkan kepada pribadi para hamba
Allah yang telah dimuliakan, diagungkan dan diangkat derajatnya oleh Allah SWT. Hal
itu sebagaimana Allah telah mengangkatnya ke pangkuan-Nya. Allah SWT berfirman:
“Dan kami tinggikan bagimu sebutan (nama)mu” (QS al-Insyirah: 4).
Orang-orang semacam itu (manusia Saleh pengikut sejati Rasul), mereka adalah para
pemiliki kedudukan tinggi di sisi Allah, maka Allah SWT memerintahkan kepada
segenap kaum muslimin lainnya untuk memuliakan dan menghormati mereka. Allah
SWT berfirman: “(yaitu) orang-orang yang mengikut rasul, nabi yang ummi yang
(namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang
menyuruh mereka mengerjakan yang ma’ruf dan melarang mereka dari mengerjakan
yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi
mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggubelenggu
yang ada pada mereka. Maka orang-orang yang beriman kepadanya.
memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan
kepadanya (Al Quran), mereka Itulah orang-orang yang beruntung” (QS al-A’raf: 157).
Jika kunci terkabulnya doa terdapat pada kepribadian dan kedudukan luhur di sisi Allah
SWT yang dimiliki oleh setiap manusia Saleh tadi maka sudah menjadi hal yang utama
jika mereka dijadikan sebagai sarana (wasilah) oleh segenap manusia muslim biasa untuk
mendapat keridhoaan Allah. Sebagaimana doa mereka pun selalu didengar dan
dikabulkan oleh Allah SWT. Jika ada kelompok muslim yang membolehkan menjadikan
‘doa’ manusia saleh sebagai sarana (wasilah) menuju ridho Allah maka menjadikan
Legalitas Tawassul / Istighatsah
Di Sebarluaskan Oleh : http://www.aswaja-nu.blogspot.com
15
sarana (wasilah) kepribadian (dzat / syakhsyiyah) dan kedudukan (jah / maqom /
manzilah / karamah / fadhilah) manusia saleh tadi pun lebih utama untuk diperbolehkan.
Karena antara ‘sarana pengkabulan doa’ dan ‘sarana kedudukan/kepribadian agung
manusia saleh’ terdapat relasi erat dan menjadio konsekuensi logis, riil dan legal (syar’i).
Memisahkan antara keduanya sama halnya memisahkan dua hal yang memiliki relasi
erat, bahkan sampai pada derajat hubungan sebab-akibat. Karena, pengkabulan doa
manusia saleh oleh Allah disebabkan karena kepribadiannya yang luhur, dan kepribadian
luhur itulah yang menyebabkan kedudukan mereka diangkat oleh Allah SWT.
Tawassul jenis ini juga memiliki sandaran hadis yang diriwayatkan oleh para imam
perawi hadis dari Ahlusunnah melalui jalur yang sahih. Untuk menyingkat waktu, bagi
yang ingin menelaah lebih lanjut hadis-hadis tersebut, silahkan merujuknya dalam kitabkitab
hadis seperti:
a- Musnad Imam Ahmad bin Hambal; jilid: 4 halaman: 138 hadis ke-16789
b- Sunan Ibnu Majah; jilid: 1 halaman: 441 hadis ke-1385
c- Sunan at-Turmudzi; jilid: 5 halaman: 531 dalam kitab ad-Da’awaat, bab 119 hadis ke-
3578
6- Tawassul melalui Kedudukan dan Keagungan Hamba Saleh
Disamping yang telah kita singgung pada bagian sebelumnya (no 5), jika kita telaah dari
sejarah hidup para pendahulu dari kaum muslimin niscaya akan kita dapati bahwa mereka
melegalkan tawassul dengan jalan ini, sesuai pemahaman mereka tentang syariat yang
dibawa oleh Rasulullah SAW.
Mereka bertawassul melalui kedudukan dan kehormatan para manusia Saleh, dimana
diyakini bahwa para manusia saleh tadi pun memiliki kedudukan tinggi di sisi Allah
SWT. Manusia saleh yang dimaksud di sini adalah sebagaimana apa yang dikemukakan
oleh Rasul kepada Muadz bin Jabal ini, Rasul bersabda: “Wahai Muadz, apakah engkau
mengetahui apakah hak Allah kepada hamba-Nya?”. Muadz menjawab: “Allah dan
Rasul-Nya lebih mengetahui”. Lantas Rasul bersabda: “Sesunguhnya hak Allah kepada
Hamba-Nya adalah hendaknya hamba-hamba-Nya itu menyembah-Nya dan tidak
menyekutukan-Nya terhadap apapun”. Agak beberapa lama, kembali Rasul bersabda:
“Wahai Muadz!”, aku (Muadz) menjawab: “Ya wahai Rasul!?”. Rasul bertanya: “Adakah
engkau tahu, apakah hak seorang hamba ketika telah melakukan hal tadi?”. aku (Muadz)
menjawab: “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui”. Rasul bersabda: “Ia tiada akan
mengazabnya”. (Lihat: Sohih Muslim dengan syarh dari an-Nawawi jilid: 1 halaman:
Legalitas Tawassul / Istighatsah
Di Sebarluaskan Oleh : http://www.aswaja-nu.blogspot.com
16
230-232). Dari hadis tadi jelas bahwa maksud dari Saleh adalah setiap orang yang
melakukan penghambaan penuh (ibadah) kepada Allah dan tidak melakukan penyekutuan
terhadap Allah SWT. Dan dikarenakan tawassul (mengambil wasilah) bukanlah tergolong
penyekutuan Allah –karena dilegalkan oleh Allah SWT- maka para pelaku tawassul pun
bisa masuk kategori orang Saleh pula, jika ia melakukan peribadatan yang tulus dan tidak
melakukan kesyirikan (penyekutuan Allah). Orang-orang saleh semacam itulah yang
dinyatakan dalam al-Quran sebagai pemancar cahaya Ilahi yang dengannya mereka hidup
di tengah-tengah manusia. Allah SWT berfirman:
“Dan apakah orang yang sudah mati Kemudian dia kami hidupkan dan kami berikan
kepadanya cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan di tengahtengah
masyarakat manusia, serupa dengan orang yang keadaannya berada dalam gelap
gulita yang sekali-kali tidak dapat keluar dari padanya? Demikianlah kami jadikan orang
yang kafir itu memandang baik apa yang Telah mereka kerjakan” (QS al-An’am: 122).
Atau sebagaimana dalam firmah Allah SWT lainya; “Hai orang-orang yang beriman
(kepada para rasul), bertakwalah kepada Allah dan berimanlah kepada Rasul-Nya,
niscaya Allah memberikan rahmat-Nya kepadamu dua bagian, dan menjadikan untukmu
cahaya yang dengan cahaya itu kamu dapat berjalan dan dia mengampuni kamu. dan
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS al-Hadid: 28). Sebagaimana kita
semua mengetahui bahwa, fungsi dan kekhususan cahaya adalah; “ia sendiri terang dan
mampu menerangi obyek lain”. Begitu juga dengan manusia saleh yang mendapat
otoritas pembawa pancaran Ilahi.
Dari sini jelas sekali bahwa al-Quran telah menun jukan kepada kita bahwa, para nabi dan
manusia saleh dari hamba-hamba Allah –seperti peristiwa umat Isa al-Masih atau
saudara-saudara Yusuf (anak-anak Yakqub)- telah melakukan tawassul. Dan al-Quran
pun telah dengan jelas memberikan penjelasan tentang beberapa obyek tawassul.
Tawassul tersebut bukan hanya sebatas berkaitan dengan doa para manusia kekasih Ilahi
itu saja, bahkan pada pribadi para manusia kekasih Ilahi itu juga. Hal itu karena antara
pribadi para kekasih Ilahi dengan bacaan doa mereka tidak dapat dipisahkan dan terjadi
relasi (konsekuensi) yang sangat erat. Hal ini akan semakin jelas ketika kita memasuki
kajian selanjutnya.
Bersambung…
Legalitas Tawassul / Istighatsah
Di Sebarluaskan Oleh : http://www.aswaja-nu.blogspot.com
17
Tawassul / Istighatsah (4)
Hadis-Hadis tentang Legalitas Tawassul / Istighotsah
Kejelasan-kejelasan semacam inilah yang tidak dapat dipungkiri oleh kaum muslimin
manapun, terkhusus para pengikut sekte Wahabisme. Atas dasar itu, Ibnu Taimiyah
sendiri dalam kitabnya “at-Tawassul wa al-Wasilah” dengan mengutip pendapat para
ulama Ahlusunah seperti; Ibnu Abi ad-Dunya, al-Baihaqi, at-Thabrani, dan sebagainya
telah melegalkan tawassul sesuai dengan hadis-hadis yang ada.
————————————————————————
Tawassul / Istighatsah (4)
Hadis-Hadis tentang Legalitas Tawassul / Istighotsah
Pada kesempatan kali ini, kita akan mengkaji beberapa contoh hadis yang menjadi
landasan legalitas tawassul/istighotsah. Dalam beberapa kitab standart Ahlusunah wal
Jamaah akan dapat kita temui beberapa hadis yang menjelaskan tentang legalitas hal
tawassul dan istighotsah terhadap Rasul dan para hamba Allah yang saleh. Sebagai
contoh apa yang disebutkan dalam hadis-hadis di bawah ini:
1- Dari Ustman bin Hanif yang mengatakan: Sesungguhnya telah datang seorang lelaki
yang tertimpa musibah (penyakit) kepada Nabi SAW. Lantas lelaki itu mengatakan
kepada Rasul; “Berdoalah kepada Allah untukku agar Ia menyembuhkanku!”. Lantas
Rasul bersabda: “Jika engkau menghendaki maka aku akan menundanya untukmu, dan
itu lebih baik. Namun jika engkau menghendaki maka aku akan berdoa (untukmu)”.
Lantas dia (lelaki tadi) berkata: “Memohonlah kepada-Nya (untukku)!”. Lantas Rasul
memerintahkannya untuk mengambil air wudhu, kemudian ia berwudhu dengan baik
lantas melakukan shalat dua rakaat. Kemudian ia membaca doa tersebut:
اللھم إني أسئلك و أتوجھ إلیك بمحمد نبي الرحمة یا محمد إني قد توجھت بك إلي ربي
في حاجتي ھذه لتُقضي اللھم فشفعھ فيٍَ
(Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu, dan aku datang menghampiri-Mu,
demi Muhammad sebagai Nabi yang penuh rahmat. Ya Muhammad, sesungguhnya aku
telah datang menghampiri-mu untuk menjumpai Tuhan-ku dan meminta hajat-ku ini agar
terkabulkan. Ya Allah, maka berilah pertolongan kepadanya untukku)
Yang dimaksud dengan Abu Jakfar dalam hadis tadi adalah, Abu Jakfar al-Khathmi yang
dinyatakan kepercayaannya oleh banyak ahli rijal hadis, termasuk ar-Rifa’i dalam kitab
“At-Tawasshul ila Haqiqat at-Tawassul” halaman 158.
Legalitas Tawassul / Istighatsah
Di Sebarluaskan Oleh : http://www.aswaja-nu.blogspot.com
18
Hadis di atas juga diriwayatkan oleh para Imam hadis terkemuka Ahlusunnah, seperti:
Imam at-Turmudzi dalam “Sunan at-Turmudzi” 5/531 hadis ke-3578, Imam an-Nasa’i
dalam kitab “as-Sunan al-Kubra” 6/169 hadis ke-10495, Imam Ibnu Majah dalam “Sunan
Ibnu Majah” 1/441 hadis ke-1385, Imam Ahmad dalam “Musnad Imam Ahmad” 4/138
hadis ke-16789, al-Hakim an-Naisaburi dalam “Mustadrak as-Shohihain” 1/313, as-
Suyuthi dalam kitab “al-Jami’ as-Shoghir” halaman 59, dsb. Sehingga dari situ, Ibnu
Taimiyah pun menyatakan kesahihannya pula .
Anehnya, sebagian Wahhaby menyatakan bahwa tawassul/istighotsah semacam itu
perbuatan sia-sia dan bertentangan dengan ke-Maha mendengar dan mengetahui-an Allah
dengan menyatakan; “Kenapa kita harus berdoa melalui orang dengan alasan ia lebih
dekat kedudukannya di sisi Allah dan doanya lebih didengar oleh-Nya? Bukankah Allah
Maha mendengar lagi Maha mengetahui atas doa para hamba-Nya?”.
Justru pertanyaan selanjutnya yang harus dijawab oleh orang Wahhaby yang berpikiran
semacam itu adalah; kenapa Rasul menjawab permintaan orang tadi dengan mengatakan
“…Namun jika engkau menghendaki maka aku akan berdoa (untukmu)”, apakah Nabi –
yang makhluk erkasih Ilahi itu- tidak mengetahui apa yang ada di otak kepala Wahhaby
tadi? Apakah mereka lebih pintar dari Nabi?
Dari hadis di atas juga dapat kita ambil pelajaran bahwa, bagaimana Nabi mengajarkan
cara bertawassul kepada lelaki terkena bencana tersebut. Dan juga dapat kita ambil
pelajaran bahwa, bersumpah atas nama pribadi Nabi ( بمحمد ) adalah hal yang
diperbolehkan (legal menurut syariat Islam), begitu juga dengan kedudukan (jah)
Muhammad yang tertera dalam kata “ نبي الرحمة ”. Jika tidak maka sejak semula Nabi akan
menegur lelaki tersebut. Jadi tawassul lelaki tersebut melalui pribadi Muhammad –bukan
hanya doa Nabi- yang sekaligus atas nama sebagai Nabi pembawa Rahmat yang
merupakan kedudukan (jah) tinggi anugerah Ilahi merupakan hal legal menurut syariat
Muhammad bin Abdillah SAW.
2- Diriwayatkan oleh ‘Aufa al-‘Aufa dari Abi Said al-Khudri, bahwa Rasul SAW pernah
menyatakan: “Barangsiapa yang keluar dari rumahnya untuk melakukan shalat (di
masjid) maka hendaknya mengatakan:
“اللھم إني أسئلك بحق السائلین علیك ”و أسئلك بحق ممشاي ھذا فإني لم أخرج أشرا و
لا بطرا و لا ریائا و لا سمعة خرجت اتقاء سختك و ابتغاء مرضاتك فأسئلك أن تعیذني
من النار و أن تغفرلي ذنوبي إنھ لا یغفر الذنوب إلا أنت”
Legalitas Tawassul / Istighatsah
Di Sebarluaskan Oleh : http://www.aswaja-nu.blogspot.com
19
(Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-mu, demi para pemohon kepada-Mu.
Dan aku memohon kepada-Mu, demi langkah kakiku ini. Sesungguhnya aku tidak keluar
untuk berbuat aniaya, sewenang-wenang, ingin pujian dan berbangga diri. Aku keluar
untuk menjauhi murka-Mu dan mengharap ridho-Mu. Maka aku memohon kepada-Mu
agar Kau jauhkan diriku dari api neraka. Dan hendaknya Engkau ampuni dosaku, karena
tiada dzat yang dapat menghapus dosa melainkan diri-Mu), niscaya Allah akan
menyambutnya dengan wajah-Nya kepadanya dan memberinya balasan sebanyak tujuh
puluh ribu malaikat”. (Lihat: Kitab “Sunan Ibnu Majah”, 1/256 hadis ke-778 bab berjalan
untuk melakukan shalat)
Dari hadis di atas dapat diambil pelajaran bahwa, Rasul SAW mengajarkan kepada kita
bagaimana kita berdoa untuk menghapus dosa kita dengan menyebut (bersumpah dengan
kata ‘demi’) diri (dzat) para peminta doa dari para manusia saleh dengan ungkapan “ بحق
السائلین علیك ”. Rasulullah di situ tidak menggunakan kata “ بحق دعاء السائلین علیك ” (demi doa
para pemohon kepada-Mu), tetapi langsung menggunakan ‘diri pelaku perbuatan’
(menggunakan isim fa’il). Dengan begitu berarti Rasul SAW membenarkan –bahkan
mengajarkan- bagaimana kita bertawassul kepada diri dan kedudukan para manusia saleh
kekasih Ilahi (wali Allah) -yang selalu memohon kepada Allah SWT- untuk menjadikan
mereka sebagai sarana penghubung antara kita dengan Allah dalam masalah permintaan
syafa’at, permohonan ampun, meminta hajat, dsb.
3- Diriwayatkan dari Anas bin Malik, ia mengatakan; ketika Fathimah binti Asad
meninggal dunia, Rasulullah SAW datang dan duduk di sisi kepalanya sembari bersabda:
رحمك الله یا أمي بعد أمي“ ” (Allah merahmatimu wahai ibuku pasca ibu (kandung)-ku). Lantas
beliau (Rasul) menyebutkan pujian terhadapnya, lantas mengkafaninya dengan jubah
beliau. Kemudian Rasul memanggil Usamah bin Zaid, Abu Ayyub al-Anshari, Umar bin
Khattab dan seorang budak hitam untuk menggali kuburnya. Lantas mereka menggali
liang kuburnya. Sesampai di liang lahat, Rasul sendiri yang menggalinya dan
mengeluarkan tanah lahat dengan menggunakan tangan beliau. Setelah selesai (menggali
lahat), kemudian Rasul berbaring di situ sembari berkata:
ا“
#لله الذي یحي و یمیت و ھو حي لا یموت اغفر لأمي فاطمة بنت أسد و وسع علیھا
مدخلھا بحق نبیك و الأنبیاء الذین من قبلي”
Legalitas Tawassul / Istighatsah
Di Sebarluaskan Oleh : http://www.aswaja-nu.blogspot.com
20
(Allah Yang menghidupkan dan mematikan. Dan Dia Yang selalu hidup, tiada pernah
mati. Ampunilah ibuku Fathimah binti Asad. Perluaskanlah jalan masuknya, demi Nabi-
Mu dan para nabi sebelumku). (Lihat: Kitab al-Wafa’ al-Wafa’)
Hadis di atas jelas sekali bagaimana Rasulullah bersumpah demi kedudukan (jah) yang
beliau miliki, yaitu kenabian, dan kenabian para pendahulunya yang telah mati, untuk
dijadikan sarana (wasilah) pengampunan kesalahan ibu (angkat) beliau, Fathimah binti
Asad. Dan dari hadis di atas juga dapat kita ambil pelajaran, bagaimana Rasul memberi
‘berkah’ (tabarruk) liang lahat itu untuk ibu angkatnya dengan merebahkan diri di sana,
plus mengkafani ibunya tersebut dengan jubah beliau.
Sebagai penutup dari contoh hadis-hadis tentang legalitas tawassul dalam syariat Islam,
kita akan melihat satu ‘pujian’ yang diberikan salah satu sahabat Rasul kepada diri
Rasulullah SAW yang memiliki muatan Tawassul.
4- Diriwayatkan bahwa Sawad bin Qoorib melantunkan pujiannya terhadap Rasul dimana
dalam pujian tersebut juga terdapat muatan permohonan tawassul kepada Rasulullah
SAW. Ia mengatakan:
و أشھد أن الله لا رب غیره …. * …. و أنك مأمون علي كل غائب
و أنك أدني المرسلین وسیلة …. * …. الي الله یان الأكرمین الأطائب
فمرنا بما یأتیك یا خیر مرسل …. * …. و إن كان فیما فیھ شیب الذوائب
و كن لي شفیعا یوم لا ذو شفاعة *…. …. سواك بمغن عن سواد بن قارب
(Lihat: Kitab Fathul Bari 7/137, atau kitab at-Tawasshul fi Haqiqat at-Tawassul karya ar-
Rifa’i halaman 300)
Kejelasan-kejelasan semacam inilah yang tidak dapat dipungkiri oleh kaum muslimin
manapun, terkhusus para pengikut sekte Wahabisme. Atas dasar itu, Ibnu Taimiyah
sendiri dalam kitabnya “at-Tawassul wa al-Wasilah” dengan mengutip pendapat para
ulama Ahlusunah seperti; Ibnu Abi ad-Dunya, al-Baihaqi, at-Thabrani, dan sebagainya
telah melegalkan tawassul sesuai dengan hadis-hadis yang ada. (Lihat: Kitab “at-
Tawassul wal Wasilah” karya Ibnu Taimiyah halaman 144-145)
Walaupun beberapa hadis di atas secara tersirat telah membuktikan legalitas tawassul
terhadap para nabi terdahulu dan para manusia saleh yang telah mati, namun mungkin
masih menjadi pertanyaan di benak kaum muslimin, adakah dalil yang dengan jelas
Legalitas Tawassul / Istighatsah
Di Sebarluaskan Oleh : http://www.aswaja-nu.blogspot.com
21
memperbolehkan tawassul/istighotsah terhadap orang yang zahirnya telah mati? Marilah
kita ikuti kajian selanjutnya.
Bersambung….
Tawassul / Istighatsah (5)
Prilaku Salaf Saleh Penguat Legalitas Tawassul / Istighotsah
Jika riwayat sebelumnya berkaitan dengan ‘diam’-nya Ali terhadap orang yang
bertawassul kepada yang telah meninggal. Padahal kita tahu bahwa Ali adalah sahabat
dan menantu mulia Rasul. Kini berkaitan dengan ‘saran’ istri Rasulullah. Jika
bertawassul/istighotsah terhadap orang yang telah mati adalah bid’ah atau syirik, maka
apakah mungkin istri Rasul -seperti Ummulmukminin Aisyah- tidak mengetahui hal itu,
padahal ia selalu hidup bersama Rasul yang selayaknya Rasul sebelum mendidik orang
lain terlebih dahulu mendidik istri dan anaknya terlebih dahulu. Jika istighotsah terhadap
orang yang zahirnya telah mati adalah bid’ah dan syirik –yang dibenci dalam Islamlantas,
apakah mungkin Rasul tidak megindahkan perintah Allah untuk; “Jagalah dirimu
dan keluargamu dari api neraka!”? Apakah kaum pengikut sekte Wahhaby jauh lebih
paham Islam daripada Ali bin Abi Thalib dan Ummulmukminin Aisyah? Silahkan
direnungkan dengan hati dan kepala yang dingin!
—————————————————————————–
Tawassul / Istighatsah (5)
Prilaku Salaf Saleh Penguat Legalitas Tawassul / Istighotsah
Kita semua mengetahui bahwa para sahabat, tabiin dan tabiut at-tabiin adalah termasuk
dalam golongan salaf soleh dimana mereka hidup sangat dekat denga zaman penurunan
risalah Islam. Terkhusus para sahabat yang mendapat pengajaran langung dari Rasulullah
SAW dimana setiap perkara yang tidak mereka pahami langsung mereka tanyakan dan
langsung mendapat jawabannya dari baginda Rasul. Salah satu dari sekian perkara yang
menjadi bahan kajian kita kali ini adalah, bagaimana pemahaman para sahabat berkaitan
dengan konsep istighotsah / tawassul yang sesuai dengan petunjuk Rasulullah SAW.
Untuk mempersingkat waktu, di sini kita akan menunjukkan beberapa riwayat yang
menjelaskan pemahaman Salaf Saleh –yang dalam hal ini mencakup para sahabat mulia
Legalitas Tawassul / Istighatsah
Di Sebarluaskan Oleh : http://www.aswaja-nu.blogspot.com
22
Rasul- berkaitan dengan konsep tersebut, dan parktik mereka dalam kehidupan seharihari.
Oleh karenanya, kita akan memberikan beberapa contoh seperti di bawah ini:
1- Dahulu Rasulullah mengajarkan seseorang tentang tata cara memohon kepada Allah
dengan lantas menyeru Nabi untuk bertawassul kepadanya, dan meminta kepada Allah
agar mengabulkan syafaatnya (Nabi) dengan mengatakan:
“یا محمد یا رسول الله إني أتوسل بك إلي ربي في حاجتي لتُقضي لي اللھم فشفعھ فيٍ ”َ .
(Wahai Muhammad, Wahai Rasulullah! Sesungguhnya aku bertawassul denganmu
kepada Tuhanku dalam memenuhi hajatku agar dikabulkan untukku. Ya Allah, terimalah
bantuannya padaku). (Lihat: Kitab “Majmu’atur Rasa’il wal Masa’il” karya Ibnu
Taimiyah 1/18)
Jelas sekali bahwa yang dimaksud dengan lelaki di atas adalah lelaki muslim yang
sezaman dan pernah hidup bersama Rasul, serta pernah belajar dari beliau, yang semua
itu adalah memenuhi kriteria sahabat menurut ajaran Ahlusunnah wal Jamaah. Mari kita
teliti dan renungkan kata demi kata dari ajaran Rasul terhadap salah seorang sahabat itu
sewaktu beliau mengajarinya tata cara bertawassul melalui ‘diri’ Muhammad sebagai
Rasulullah, satu ‘kedudukan’ (jah) tinggi di sisi Allah. Sengaja kita ambil rujukan dari
Ibnu Taimiyah agar pengikut sekte Wahhaby memahami dengan baik apa sinyal dibalik
tujuan kami menukil dari kitab syeikh mereka itu, agar mereka berpikir.
2- Khalifah Umar bin Khattab pernah meminta hujan kepada Allah melalui paman Rasul,
Abbas bin Abdul Mutthalib. Dalam bertawassul, khalifah Umar mengatakan:
ا“
للھم كنا نتوسل إلیك بنبینا فتسقینا و إنا نتوسل إلیك بعم نبینا فاسقنا. قال: فیسقون”
(Ya Allah, dahulu kami bertawassul kepada-Mu melalui Nabi kami lantas Engkau beri
kami hujan. Sekarang kami bertawassul kepada-Mu melalui paman Nabi kami maka beri
kami hujan. Dan (perawi) berkata: maka mereka diberi hujan). (Lihat: Kitab “Shohih
Bukhari” 2/32 hadis ke-947 dalam Bab Shalat Istisqo’)
Riwayat di atas memberikan pelajaran kepada kita bagaimana Khalifah Umar –sahabat
Rasul- melakukan hal yang pernah diajarkan Rasul kepada para sahabat mulia beliau.
Legalitas Tawassul / Istighatsah
Di Sebarluaskan Oleh : http://www.aswaja-nu.blogspot.com
23
Walaupun riwayat di atas menunjukkan bahwa Umar bin Khattab bertawassul kepada
manusia yang masih hidup, akan tetapi hal itu tidak berarti secara otomatis riwayat di atas
dapat menjadi bukti bahwa bertawassul kepada yang telah mati adalah ‘haram’ (entah
karena alasan syirik atau bid’ah), karena tidak ada konsekuensi di situ. Di tambah lagi
nanti terdapat riwayat lain yang menjelaskan bahwa sebagian sahabat –sesuai dengan
pemahaman mereka dari apa yang diajarkan Rasul- juga melakukan tawassul kepada
seseorang yang secara zahir telah mati. Yang jelas, riwayat di atas dengan tegas
menjelaskan akan legalitas tawassul / istighitsah dan menyangkal pendapat sebagian
Wahhaby yang mengatakan bahwa bertawassul adalah perbuatan sis-sia dan bertentangan
dengan ke-Mahamendengar dan Mahamengetahui-an Allah SWT. Juga sekaligus
menjelaskan legalitas tawassul melalui diri (Abbas bin Abdul Mutthalib) dan kedudukan
(sebagai paman manusia termulia) di hadapan Allah SWT.
3- Berkata al-Hafidz Abu Abdillah Muhammad bin Musa an-Nukmani dalam karyanya
yang berjudul “Mishbah adz-Dzolam”; Sesungguhnya al-Hafidz Abu Said as-Sam’ani
menyebutkan satu riwayat yang pernah kami nukil darinya yang bermula dari Khalifah
Ali bin Abi Thalib yang pernah mengisahkan: “Telah datang kepada kami seorang badui
setelah tiga hari kita mengebumikan Rasulullah. Kemudian ia menjatuhkan dirinya ke
pusara Rasul dan membalurkan tanah (kuburan) di atas kepalanya seraya berkata: Wahai
Rasulullah, engkau telah menyeru dan kami telah mendengar seruanmu. Engkau telah
mengingat Allah dan kami telah mengingatmu. Dan telah turun ayat; “Sesungguhnya
Jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun
kepada Allah, dan rasulpun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka
mendapati Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang” (QS an-Nisa: 64) dan
aku telah menzalimi diriku sendiri. Dan aku mendatangimu agar engkau memintakan
ampun untukku. Lantas terdengar seruan dari dalam kubur: Sesungguhnya Dia (Allah)
telah mengampunimu”. (Lihat: Kitab “Wafa’ al-Wafa’” karya as-Samhudi 2/1361)
Dari riwayat di atas menjelaskan bahwa; bertawassul kepada Rasulullah pasca wafat
beliau adalah hal yang legal dan tidak tergolong syirik atau bid’ah. Bagaimana tidak?
Sewaktu prilaku dan ungkapan tawassul / istighotsah itu disampaikan oleh si Badui di
pusara Rasul -dengan memeluk dan melumuri kepalanya dengan tanah pusara- yang di
tujukan kepada Rasul yang sudah dikebumikan, hal itu berlangsung di hadapan Amirul
mukminin Ali bin Abi Thalib. Dan khalifah Ali sama sekali tidak menegurnya, padahal
beliau adalah salah satu sahabat terkemuka Rasulullah yang memiliki keilmuan yang
sangat tinggi dimana Rasulullah pernah bersabda berkaitan dengan Ali bin Abi Thalib
KW:
Legalitas Tawassul / Istighatsah
Di Sebarluaskan Oleh : http://www.aswaja-nu.blogspot.com
24
- “Ali bersama kebenaran dan kebenaran bersama Ali” (Lihat: Kitab “Tarikh Baghdad”
karya Khatib al-Baghdadi 14/321, dan dengan kandungan yang sama bisa dilihat dalam
kitab “Shohih at-Turmudzi” 2/298)
- “Ali bersama al-Quran dan al-Quran bersama Ali, keduanya tidak akan pernah terpisah
hingga hari kebangkitan” (Lihat: Kitab “Mustadrak as-Shohihain” karya al-Hakim an-
Naisaburi 3/124)
- “Aku (Rasul) adalah kota ilmu dan Ali adalah pintu gerbangnya. Barangsiapa
menghendaki (masuk) kota maka hendaknya melalui pintu gerbangnya” (Lihat: Kitab
“Mustadrak as-Shohihain” 3/126)
- “Engkau (Ali) adalah penjelas kepada umatku tentang apa-apa yang mereka selisihkan
setelah (kematian)-ku” (Lihat: Kitab Mustadrak as-Shohihain” 3/122)
Jika tawassul / istighotsah terhadap orang yang telah mati adalah syirik atau bid’ah –
sebagaimana yang diiskukan oleh kelompok sekte Wahhaby- dan pada riwayat di atas
disebutkan bahwa Ali bin Abi Thalib –pemilik pujian-pujian Rasul yang tertera dalam
kitab-kitab Ahlusunnah tadi- yang menjadi saksi perbuatan si Badui muslim tadi -yang
bertawassul di pusara Rasul- lantas diam padahal beliau mampu untuk melarangnya jika
itu tidak legal (ghair syar’i) maka ada dua kemungkinan;
1- Ali adalah sahabat yang tidak tahu apa-apa (bodoh) tentang hukum Islam, terkhusus
masalah larangan bertawassul kepada orang yang telah meninggal. Dimana dari ungkapan
pada poin ini juga meniscayakan bahwa, Rasul telah berbohong kepada kita (umatnya),
bahwa ternyata Ali bukan pemilik keutamaan-keutamaan seperti hadis-hadis di atas.
Bagaimana mungkin orang yang tidak memiliki kemuliaan semacam itu lantas
direkomendasikan oleh Rasul yang al-Amin itu?
2- Hadis-hadis pujian Rasul terhadap pribadi Ali itu benar. Dan diamnya Ali atas
perbuatan si Badui tadi membuktikan bahwa bertawassul/istighotsah terhadap orang yang
zahirnya telah mati itu adalah legal menurut syariat Islam, paling tidak yang dipahami Ali
sebagai pintu gerbang ilmu Rasul, yang selalu bersama kebenaran, selalu bersama al-
Quran dan yang diberi mandat Rasul untuk menjelaskan hal-hal yang terjadi perbedaan
pendapat di kalangan kaum muslimin, pasca wafat Rasul.
Tentu, bagi seorang ‘Ahlusunnah wal Jamaah sejati’, pasti ia akan memilih kemungkinan
yang kedua. Karena kemungkinan yang pertama itu sangat berat resikonya di dunia
Legalitas Tawassul / Istighatsah
Di Sebarluaskan Oleh : http://www.aswaja-nu.blogspot.com
25
maupun di akherat, terkhusus bagi pengaku Ahlusunnah wal Jamaah. Kecuali jika kita
melakukan kebodohan sebagaimana apa yang sering dilakukan oleh kebanyakan ulama
Wahhaby, mudah menvonis sebuah hadis yang tidak sesuai dengan doktrin akidahnya
dengan vonis “hadis lemah” (dho’if), tanpa melakukan pengecekan secara detail terlebih
dahulu.
4- Ad-Darami meriwayatkan: Penghuni Madinah mengalami paceklik yang sangat parah.
Lantas mereka mengadu kepada Aisyah (ummul Mukminin). Lantas Aisyah mengatakan:
“Lihatlah pusara Nabi! Jadikanlah ia (kuburan) sebagai penghubung menuju langit
sehingga tidak ada lagi penghalang dengan langit. Lantas ia (perawi) mengatakan:
Kemudian mereka (penduduk Madinah) melakukannya, kemudian turunlah hujan yang
banyak hingga tumbulah rerumputan dan gemuklah onta-onta dipenuhi dengan lemak.
Maka saat itu disebut dengan tahun “al-fatq” (sejahtera)”. (Lihat: Kitab “Sunan ad-
Darami” 1/56)
Jika riwayat sebelumnya berkaitan dengan ‘diam’ Ali terhadap orang yang bertawassul
kepada yang telah meninggal. Padahal kita tahu bahwa Ali adalah sahabat dan menantu
mulia Rasul. Kini berkaitan dengan ‘saran” istri Rasulullah. Jika bertawassul/istighotsah
terhadap orang yang telah mati adalah bid’ah atau syirik, maka apakah mungkin istri
Rasul -seperti Ummulmukminin Aisyah- tidak mengetahui hal itu, padahal ia selalu hidup
bersama Rasul yang selayaknya Rasul sebelum mendidik orang lain terlebih dahulu
mendidik istri dan anaknya terlebih dahulu. Jika istighotsah terhadap orang yang zahirnya
telah mati adalah bid’ah dan syirik –yang dibenci dalam Islam- lantas, apakah mungkin
Rasul tidak megindahkan perintah Allah untuk; “Jagalah dirimu dan keluargamu dari api
neraka!”? Apakah kaum pengikut sekte Wahhaby jauh lebih paham Islam daripada Ali
bin Abi Thalib dan Ummulmukminin Aisyah? Silahkan direnungkan dengan hati dan
kepala yang dingin!
5- Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dengan sanad yang sahih. Dari riwayat Abu Salih
as-Saman dari Malik ad-Dar –seorang bendahara Umar- yang berkata: Masyarakat
mengalami paceklik pada zaman (kekhalifahan) Umar. Lantas seseorang datang ke
makam Nabi seraya berkata: Ya Rasulullah mintakan hujan untuk umatmu, karena
mereka hendak binasa. Kemudian datanglah seseorang dimimpi tidurnya dan berkata
kepadanya: Datangilah Umar! Saif juga meriwayatkan hal tersebut dalam kitab al-Futuh;
Sesungguhnya lelaki yang bermimpi tadi adalah Bilal bin al-Harits al-Muzni, salah
seorang sahabat. (Lihat: Kitab “Fathul Bari” 2/577)
Legalitas Tawassul / Istighatsah
Di Sebarluaskan Oleh : http://www.aswaja-nu.blogspot.com
26
Riwayat di atas juga menguatkan bahwa beapa di kalngan sahabat Nabi kala itu sudah
menjadi hal yang biasa jika seseorang memiliki hajat untuk bertawassul, walaupun
kepada Rasulullah yang secara zahir telah meninggal dunia. Lantas apakah kaum sekte
Wahabi masih bersikeras menyatakan bahwa Salaf Saleh tidak pernah mencontohkan
perbuatan tersebut sesuai dengan pemahaman mereka terhadap ajaran syariat Nabi?
Sekali lagi pertanyaan yang muncul, apakah kaum Wahaby berani menyatakan para
sahabat besar itu sebagai pelaku syirik atrau bid’ah karena telah bertawassul kepada yang
telah mati? Pertanyaan semacam ini belum pernah ada jawaban yang memuaskan dari
kalangan pengikut sekte Wahhaby, karena mereka akan berbenturan dengan pemuka
Salaf Saleh seperti sahabat-sahabat besar yang telah kami sebutkan di atas, termasuk
Ummulmukminin Aisyah, istri Nabi sendiri.
Guna mengakhiri kajian kali ini, kita akan memberikan satu contoh lagi dari riwayat
(atsar) para sahabat berkaitan dengan legalitas syariat Islam terhadap permasalahan
istighotsah / tawassul, terkhusus kepada pribadi yang dianggap telah mati.
6- Dalam sebuah riwayat panjang tentang kisah Usman bin Hunaif (salah seorang sahabat
mulia Rasul) yang disebutkan oleh at-Tabrani dari Abi Umamah bin Sahal bin Hunaif
yang bersumber dari pamannya, Usman bin Hunaif. Disebutkan bahwa, suatu saat
seorang lelaki telah beberapa kali mendatangi khalifah Usman bin Affan agar memenuhi
hajatnya. Saat itu, Usman tidak menanggapi kedatangannya dan tidak pula
memperhatikan hajatnya. Kemusian lelaki itu pergi dan ditengah jalan bertemu Usman
bin Hunaif dan mengeluhkan hal yang dihadapinya kepadanya. Mendengar hal itu lantas
Usman bin Hunaif mengatakan kepadanya: Ambillah bejana dan berwudhulah. Kemudian
pergilah ke masjid (Nabi) dan shalatlah dua rakaat. Seusainya maka katakanlah:
ا“
للھم إني أسألك و أتوجھ إلیك بنبینا محمد نبي الرحمة یا محمد إني أتوجھ بك إلي
ربي فتقضي لي حاجت
”…ي
(Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu dan mendatangi-Mu demi Nabi-Mu
Muhammad yang sebagai Nabi pembawa Rahmat. Wahai Muhammad, aku
menghadapkan wajahku kepadamu untuk memohon kepada Tuhanku. Maka kabulkanlah
hajatku)
Lantas sebutkanlah hajatmu. Beranjaklah maka aku akan mengiringimu. Kemudian lelaki
itu melakukan apa yang telah diberitahukan kepadanya. Selang beberapa saat, lantas ia
Legalitas Tawassul / Istighatsah
Di Sebarluaskan Oleh : http://www.aswaja-nu.blogspot.com
27
kembali mendatangi pintu rumah Usman. Usmanpun mempersilahkannya masuk dan
duduk di satu kursi dengannya, seraya berkata: Apakah gerangan hajatmu? Lantas ia
menyebutkan hajatnya, dan Usmanpun segera memenuhinya. Lantas ia berkata
kepadanya: Aku tidak ingat terhadap hajatmu melainkan baru beberapa saat yang lalu
saja. Iapun kembali mengatakan: Jika engkau memiliki hajat maka sebutkanlah
(kepadaku)! Setelah itu, lelaki itu keluar meninggalkan rumah Usman bin Affan dan
kembali bertemu Usman bin Hunaif seraya berkata: Semoga Allah membalas
kebaikanmu!? Dia (Usman bin Affan) awalnya tidak melihat dan memperhatikan hajatku
sehingga engkau telah berbicaranya kepadanya tentangku. Lantas Usman bin Hunaif
berkata: Demi Allah, aku tidak pernah berbicara tentang kamu kepadanya. Tetapi aku
telah melihat Rasulullah SAW didatangi dan dikeluhi oleh seorang yang terkena musibah
penyakit (info: ini mengisaratkan pada hadis tentang sahabat yang mendatangi Rasul
karena kehilangan penglihatannya yang diriwayatkan dalam kitab “Musnad Ahmad”
4/138, “Sunan at-Turmudzi” 5/569 hadis ke-3578, “Sunan Ibnu Majah” 1/441 dan
“Mustadrak as-Shohihain” 1/313) kehilangan kekuatan penglihatannya, lantas Nabi
bersabda kepadanya: Bersabarlah! Lelaki itu menjawab: Wahai Rasulullah, aku tidak
memiliki penggandeng dan itu sangat menyulitkanku. Lantas Nabi bersabda: Ambillah
bejana dan berwudhulah, kemudian shalatlah dua rakaat. Lantas bacalah doa-doa
berikut…. berkata Ibnu Hunaif: Demi Allah, kami tidak akan meninggalkan (cara
tawassul itu). Percakapan itu begitu panjang sehingga datanglah seorang lelaki yang
seakan dia tidak mengidap satu penyakit. (Lihat: Kitab “Mu’jam at-Tabrani” 9/30 nomer
8311, “al-Mu’jam as-Shoghir” 1/183, dikatakan hadis ini sahih)
Lihat hadis di atas, bagaimana sahabat Usman bin Hunaif memahami ajaran Rasul yang
mengajarkan diperbolehkannya tawassul kepada Rasul pada masa hidupnya namun ia
juga terapkan pada pasca kematian beliau. Apakah pemahaman sahabat Usman bin
Hunaif itu tidak bisa dibenarkan? Sebodoh itukah sahabat Usman bin Hunaif yang
menerapkan hadis Rasul tentang tawassul kepada yang masih hidup dengan legalitas
tawassul kepada yang mati? Jika ada pengikut sekte Wahhaby yang berani menyatakan
bahwa sahabat Usman bin Hunaif adalah bodoh maka jangan segan-segan juga untuk
menyatakan bahwa khalifah Ali bin Abi Thalib dan Ummulmukminin pun bodoh,
sebagaimana banyak sahabat lainnya. Kenapa tidak? Bukankah mereka semua
membenarkan ajaran tawassul / istighotsah kepada Rasul yang telah mati? Atau selama
ini pemahaman Wahhaby yang salah bahwa Nabi tidak ‘mati’, zahirnya saja ‘mati’,tetapi
beliau selalu hidup dan mendengar setiap permintaan yang diajukan umatnya kepada
beliau, sebagai sarana (wasilah) menuju Allah SWT.
Legalitas Tawassul / Istighatsah
Di Sebarluaskan Oleh : http://www.aswaja-nu.blogspot.com
28
Yang sangat mengherankan sekali adalah, Nashiruddin al-Bani (konon Ahli Hadis
kalangan Wahabi) dalam karyanya yang berjudul “at-Tawassul” yang tidak lagi dapat
meragukan kesahihan riwayat di atas (sebagaimana yang dinyatakan sahih oleh at-
Tabrani) ternyata jiwa kewahabiannya terlalu kental -sehingga fanatisme setaninya sangat
kuat membikin dia keras kepala dan jumud- dan tidak berani menolak fatwa
pendahulunya, Muhammad bin Abdul Wahhab dan Ibnu Taimiyah. Seakan fatwa kedua
orang itu adalah wahyu yang datang dari langit yang tidak boleh diganggu-gugat. Padahal
kejelasan dalil sudah nyata baginya. Keangkuhannya dalam menghadapi kenyataan (baca:
kebenaran) semacam inilah yang ternyata juga masih diikuti oleh para pengikut Wahhabi
di dunia ini, tidak terkecuali di Tanah Anir. Padahal, riwayat sahabat Usman bin Hunaif –
yang menjadi kepercayaan sahabat Ali dan Umar (Lihat: Kitab “Siar A’lam an-Nubala’”
2/320)- sebegitu jelasnya, sebagaimana keberadaan matahari di siang hari yang cerah.
Memang benar firman Allah SWT yang menyatakan bahwa, kita tidak akan dapat
memberi petunjuk kepada kaum yang telah tersesat, dan Allah akan menambah kesesatan
mereka. Bagaimana mungkin ajaran sekte (Wahabisme) yang bertumpu pada
pengingkaran hakekat itu akan mengaku sebagai pemurnian ajaran Islam? Namun,
bagaimanapun, kebenaran harus disampaikan, karena tugas kita hanyalah menyampaikan.
Ini semua adalah beberapa contoh dari riwayat-riwayat yang dapat kita kemukakan pada
kesempatan kali ini. Tentu masih banyak riwayat lain yang tidak akan mungin kita
sebutkan di sini, untuk mempersingkat waktu dan tempat. Yang jelas, Salaf Saleh telah
memberikan contoh kepada kita tentang pemahaman mereka terhadap ajaran Islam -yang
bersumber dari al-Quran dan Sunnah Rasul- terhadap legalitas tawassul / istighotsah
terhadap para kekasih Ilahi, walaupun pasca kematian zahir mereka.
Sumber :
http://salafyindonesia.wordpress.com

tawasul atau istighosah

Legalitas Tawassul / Istighatsah
Di Sebarluaskan Oleh : http://www.aswaja-nu.blogspot.com
1
Sumber :
http://salafyindonesia.wordpress.com
Tawassul / Istighatsah (1)
Kita nanti akan memasuki kajian legalitas “Tawassul / Istighatsah” yang sesuai dengan
ajaran syariat Islam agar kita tidak terjerumus dalam penentuan obyek
Tawassul/Istighatsah secara ‘liar’ sehingga menyebabkan kita terjerumus ke dalam jurang
bid’ah dan kesesatan, seperti yang dapat kita temukan dalam masyarakat kejawen di
Indonesia. Ataupun terjerumus ke dalam jurang ke-jumud-an dalam menentukan obyek
Tawassul / Istighatsah, sebagaimana yang dilakukan oleh kelompok sekte Wahabisme,
imbas dari kerancuan metodologi memahami teks. Baik kelompok ‘Kejawen’ maupun
‘Wahabi’ keduanya telah terjerumus ke dalam jurang ekstrimitas (ekstrim kiri dan
ekstrim kanan) yang mengakibatkan kerancuan dalam bersikap berkaitan dengan konsep
Tawassul/Istighatsah. Tentu kedua bentuk ekstrimitas tidak sesuai dengan apa yang
diinginkan oleh Islam.
————————————————————————————
Tawassul / Istighatsah (1)
Sebuah Pengantar
Hakekat “Tawassul” merupakan hal yang telah menjadikan kejelasan dalam Islam. Al-
Quran sebagai sumber utama agama Islam dalam sebuah ayatnya menyatakan: “Hai
orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan (wasilah) yang
mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat
keberuntungan” (QS Al-Maidah: 35). Dalam ayat tadi Allah SWT menjelaskan bahwa
ketakwaan dan jihad merupakan sarana legal untuk menyampaikan manusia kepada Allah
SWT.
Yang menjadi pertanyaan adalah; adakah sarana-sarana lain yang legal menurut syariat
Islam yang mampu menghantarkan manusia menuju Allah SWT, ataukah dalam
penentuan sarana-sarana tadi telah sepenuhnya diserahkan kepada manusia? Untuk
menjawab secara ringkas maka dapat kita katakana bahwa; jelas sekali bahwa penentuan
sarana pendekatan diri kepada Allah SWT tidak terdapat campur tangan manusia
sehingga dengan ijtihad pribadinya dapat menentukan sarana-sarana apapun untuk
mendekatkan diri kepada Allah SWT. Hanya sarana-sarana yang telah ditentukan oleh
syariat Islam –yang bersumber dari al-Quran dan as-Sunnah as-Sohihah Rasulullah
SAW- saja yang dapat menjadi penghantar manusia menuju Allah SWT. Sehingga dari
sini dapat kita simpulkan bahwa, semua sarana yang tidak mendapat legalitas syariat –
Legalitas Tawassul / Istighatsah
Di Sebarluaskan Oleh : http://www.aswaja-nu.blogspot.com
2
baik dengan dalil umum maupun khusus- maka tergolong bid’ah dan kesesatan yang
nyata. Dalam kesempatan kali ini, kita akan memasuki kajian legalitas
“Tawassul/Istighatsah” sesuai dengan ajaran syariat Islam, baik dari apa yang telah
dijelaskan oleh al-Quran, Sunnah Rasulullah maupun prilaku para Salaf Saleh dan Ulama
Salaf Ahlusunnah wal Jamaah. Sehingga kita tidak terjerumus dalam penentuan obyek
tawassul/Istighatsah secara ‘liar’ sehingga menyebabkan kita terjerumus ke dalam jurang
bid’ah dan kesesatan, seperti yang dapat kita temukan dalam masyarakat kejawen di
Indonesia. Ataupun terjerumus ke dalam jurang kejumudan dalam menentukan obyek
Tawassul/Istighatsah, sebagaimana yang dilakukan oleh kelompok sekte Wahabisme,
imbas dari kerancuan metodologi memahami teks. Baik kelompok ‘Kejawen’ maupun
‘Wahabi’ keduanya telah terjerumus ke dalam jurang ekstrimitas (ekstrim kiri dan
ekstrim kanan) yang mengakibatkan kerancuan dalam bersikap berkaitan dengan konsep
Tawassul/Istighatsah. Tentu kedua bentuk ekstrimitas itu tidak sesuai dengan apa yang
diinginkan oleh Islam.
Jika kita melihat beberapa kamus bahasa Arab yang sering dijadikan rujukan dalam
menentukan asal dan makna kata maka akan kita dapati bahwa, kata “Tawassul”
mempunyai arti dari ‘darajah’ (kedudukan), atau ‘Qurbah’ (kedekatan), atau ‘washlah’
(penyampai/penghubung). Sehingga sewaktu dikatakan bahwa ‘wasala fulan ilallah
wasilatan idza ‘amala ‘amalan taqarraba bihi ilaihi’ berarti ‘seseorang telah menjadikan
sarana penghubung kepada Allah melalui suatu pebuatan sewaktu melakukan pebuatan
yang dapat mendekatkan diri kepada-Nya’. (Lihat: Kitab Lisan al-‘Arab karya Ibn
Mandzur jilid 11 asal kata wa-sa-la). Begitu juga berkaitan dengan asal kata ‘ghatsa’
yang berarti ‘menolong’ yang dengan memakai bentuk (wazan) ‘istaf’ala’ yang kemudian
menjadi ‘istighatsah’ yang berarti ‘mencari/meminta pertolongan’. Pengertian-pengertian
semacam ini pun akan kita dapati dalam berbagai kamus-kamus bahasa Arab terkemuka
lainnya.
Berkaitan dengan konsep Tawassul dan Istighatsah ini, terdapat perbedaan pendapat di
kalangan beberapa kelompok. Letak perbedaannya dalam masalah penentuan obyekobyek
tawassul dan istighatsah yang dilegalkan oleh syariat Islam. Dikarenakan terjadi
perbedaan pendapat dalam penentuan obyek maka terjadi ikhtilah juga dalam
menghukuminya. Dari perbedaan hukum tadilah akhirnya muncul ‘penyesatan’ dari
kelompok yang belum dewasa dalam menerima perbedaan, merasa benar sendiri, tidak
menganggap pendapat kelompok lain, bahkan menganggap kelompok lain tadi telah
berbuat yang dilarang oleh Islam, bid’ah atau syirik.
Legalitas Tawassul / Istighatsah
Di Sebarluaskan Oleh : http://www.aswaja-nu.blogspot.com
3
Di sini, kita akan mengkalasifikasikan pendapat-pendapat tersebut menjadi tiga bagian.
A- Pertama: Pendapat Sekte Wahabisme
Dalam hal ini, kita akan menukilkan pendapat Muhammad bin Abdul Wahhab an-Najdi
(pelopor dan pendiri sekte Wahabisme) yang dalam kita “Kasyfus Syubuhaat”
menyatakan: “Jika ada sebagian orang musyrik (muslim non-Wahaby .red) mengatakan
kepadamu; “Ingatlah, Sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap
mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati (QS Yunus: 62)”, atau mengatakan bahwa
syafa’at adalah benar, atau mengatakan bahwa para nabi memiliki edudukan di sisi Allah,
atau mengungkapkan perkataan Nabi untuk berargumen menetapkan kebatilannya
(seperti Syafa’at, Tawassul/Istighatsah, Tabarruk…dst. Red) sedang kalian tidak
memahaminya (tidak bisa menjawabnya) maka katakanlah: Sesungguhnya Allah dalam
al-Quran menjelaskan bahwa orang-orang yang menyimpang adalah orang yang
meninggalkan ayat-ayat yang jelas (muhkam) dan mengikuti yang samar (mutasyabih)”.
(Lihat: Kitab Kasyfus Syubuhaat halaman 60). Di sini jelas sekali bahwa Muhammad bin
Abdul Wahhab menyatakan ‘sesat’ (bahkan menuduh musyrik) orang-orang yang
meyakini adanya syafaat, kedudukan tinggi para nabi di sisi Allah sehingga dimintai
istighatsah/tawassul…dst. Bahkan di sini, Muhammad bin Abdul Wahhab mengajarkan
kepada para pengikutnya “trik melarikan diri” dari diskusi tentang doktrinan sektenya
dengan kelompok lain dengan cara melarikannya kepada pembagian tasyabuh dan
muhkam ayat-ayat al-Quran. Termasuk trik mengajak para pengkritisi ajaran Wahabisme
untuk bertobat ‘tanpa terbukti’ kesalahannya. Ternyata, akhirnya ‘trik-trik licik’ ini pun
yang sering dipakai banyak para pengikut sekte Wahaby ketika terpepet dalam
berargumentasi ketika membela keyakinan wahabismenya, bahkan menjadi ‘kebiasaan
buruk’ mayoritas para pengikut sekte tersebut.
Contoh lain. Nashiruddin al-Bani -yang konon- adalah seorang ahli hadis dari kalangan
Wahaby pun pernah menyatakan dalam salah satu karyanya yang berjudul “at-Tawassul;
Ahkaamuhu wa Anwa’uhu” (Tawassul; hukum-hukum dan jenis-jenisnya) begitu juga
dalam mukaddimahnya atas kitab “Syarh at-Thawiyah” (Lihat: di halaman 60 dari kitab
Syarh Thahawiyah) dia mentakan bahwa; “Sesungguhnya masalah tawassul bukanlah
tergolong masalah akidah”.
Dan contoh lainnya adalah apa yang dinyatakan oleh Abdullah bin Baz seorang mufti
Wahaby: “Barangsiapa yang meminta (istighatsah/tawassul) kepada Nabi dan meminta
syafaat darinya maka ia telah merusak keislamannya” (Lihat: Kitab Al-‘Aqidah as-
Shohihah wa Nawaqidh al-Islam).
Legalitas Tawassul / Istighatsah
Di Sebarluaskan Oleh : http://www.aswaja-nu.blogspot.com
4
B- Kedua: Pendapat Ahlusunnah wal Jamaah (bahkan Islam secara keseluruhan).
Terlampau banyak contoh fatwa ulama Ahlusunnah dalam menjelaskan legalitas
Tawassul/Istighatsah ini. Insya-Allah pada kesempatan selanjutnya akan lebih kita
perjelas mengenai ungkapan-ungkapan mereka. Namu di sini kita akan memberikan
contoh beberapa tokoh dari mereka saja.
1- Imam Ibn Idris as-Syafi’i sendiri permnah menyatakan: “Sesungguhnya aku telah
bertabarruk dari Abu Hanifah (pendiri mazhab Hanafi .red) dan mendatangi kuburannya
setiap hari. Jika aku memiliki hajat maka aku melakukan shalat dua rakaat dan lantas
endatangi kuburannya dan meminta kepada Allah untuk mengabulkan doaku di sisi
(kuburan)-nya. Maka tidak lama kemudian akan dikabulkan” (Lihat: Kitab Tarikh
Baghdad jilid 1 halaman 123 dalam bab mengenai kuburan-kuburan yang berada di
Baghdad)
2- As-Samhudi yang bermazhab Syafi’i menyatakan; “Terkadang orang bertawassul
kepadanya (Nabi SAW .red) dengan meminta pertolongan berkaitan suatu perkara. Hal
itu memberikan arti bahwa Rasul memiliki kemampuan untuk memenuhi permintaan dan
memberikan syafaatnya kepada Tuhannya. Maka hal itu kembali kepada permohonan
doanya. Walaupun terdapat perbedaan dari segi pengibaratannya. Kadangkala seseorang
meminta; aku memohon kepadamu (wahai Rasul .red) untuk dapat menemanimu di
sorga…tiada yang dikehendakinya malainkan bahwa Nabi SAW menjadi sebab dan
pemberi syafaat” (Lihat: Kitab Wafa’ al-Wafa’ bi Akhbar Daarul Mustafa karya as-
Samhudi Jilid 2 halaman 1374)
3- As-Syaukani az-Zaidi pernah menyatakan akan legalitas tawassul dalam kitab
karyanya yang berjudul “Tuhfatudz Dzakiriin” dengan mengatakan: “Dan bertawassul
kepada Allah melalui para nabi dan manusia saleh”. (Lihat: Kitab Tuhfatudz Dzakiriin
halaman 37)
4- Abu Ali al-Khalal salah seorang tokoh mazhab Hambali pernah menyatakan: “Tiada
perkara yang membuatku gunda kecuali aku pergi ke kuburan Musa bin Jakfar (salah
seorang cucu Rasulullah yang dianggap salah seorang Imam oleh Syiah .Red) dan aku
bertawasul kepadanya melainkan Allah akan memudahkannya bagiku sebagaimana yang
kukehendaki” (Lihat: Kitab Tarikh Baghdad jilid 1 halaman 120 dalam bab kuburankuburan
yang berada di Baghdad).
Legalitas Tawassul / Istighatsah
Di Sebarluaskan Oleh : http://www.aswaja-nu.blogspot.com
5
C- Ketiga: Pendapat Ibnu Taimiyah al-Harrani
Jika kita telaah beberapa karya Ibnu Taimiyah maka akan kita dapati bahwa ia telah
mengalami kebingungan dalam menentukan masalah ini. Kita akan dapati bahwa
terkadang ia mengingkarinya, terjadang membolehkannya, dan terkadang menjawabnya
dengan membagi-baginya. Untuk lebih jelasnya, mari kita lihat apa yang telah ditulisnya
dalam salah satu kitab yang berjudul “At-Tawassul wal Wasilah” dimana ia membagi
Tawassul menadi tiga kategori, ia mengatakan:
1- Tawassul dengan ketaatan Nabi dan keimanan kepadanya. Ini tergolong asal muasal
Iman dan Islam. barangsiapa yang mengingkarinya berarti telah mengingkarinya (kufur)
terhadap hal yang umum dan yang khusus.
2- Tawassul dengan doa dan syafa’at Nabi -dalam arti bahwa Nabi secara langsung dapat
memberi syafaat dan mendengar doa- semasa hidupnya dan sehingga di akherat kelak
mereka akan bertawassul kepadanya untuk mendapat syafaatnya. Barangsiapa yang
mengingkari hal tersebut maka dia tergolong kafir murtad dan harus dimintai tobatnya.
Jika tidak tobat maka ia harus dibunuh karena kemurtadannya.
3- Tawassul untuk mendapat syafaatnya pasca kematiannya. Sungguh ini merupakan
bid’ah yang dibuat-buat. (Lihat; Kitab At-Tawassul wal Wasilah karya Ibnu Taimiyah
halaman 13/20/50)
Jadi jelaslah bahwa Ibnu Taimiyahpun tergolong orang yang tidak mengingkari legalitas
tawassul, walaupun dalam beberapa hal ia nampak rancu dalam menentukan sikapnya.
Dari penjelasan di atas tadi membuktikan bahwa, pengkategorian bid’ah dalam tawassul
versi Ibnu Taimiyah terletak pada hidup dan matinya obyek yang ditawassuli. Benarkah
demikian? Kita akan buktikan -nanti- bahwa pernyataan Ibnu Taimiyah itu tidak sesuai
dengan ajaran Islam itu sendiri.
Yang perlu saya perjelas dari ungkapan saya di atas berkaitan dengan pendapat kedua
“Islam secara keseluruhan” melegalkan konsep dan praktik Tawassul/Istighatsah kepada
Nabi dan orang-orang saleh adalah, bukan hanya Ahlusunnah wal Jamaah saja (termasuk
ahli tasawwuf), bahkan kelompok Syiah pun meyakininya. Jadi Sufi dan Syiah kedua
kelompok yang paling dibenci oleh kaum Wahhaby pun memiliki kesamaan –juga dalam
banyak hal yang dituduhkan Wahaby terhadap Ahlusunnah- dengan kelompok
Ahlusunnah. Jadi dalam masalah ini –terkhusus masalah Tawassul/Istighatsah, juga
masalah-masalah lain yang dinyatakan syirik dan bid’ah oleh sekte Wahaby- ternyata
Legalitas Tawassul / Istighatsah
Di Sebarluaskan Oleh : http://www.aswaja-nu.blogspot.com
6
kelompok Salafy gadungan itu (Wahaby) sendirian, selain karena mereka juga tidak
memiliki dalil yang kuat baik bersandarkan dari al-Quran, sunnah Rasul, dan perilaku
Salaf Saleh. Dengan kata yang lebih singkat dan mengena; “Dalam masalah ini
Wahabisme akan berhadapan dengan Islam”. Kita akan buktikan pada pertemuan
selanjutnya.
Bersambung…
Tawassul / Istighatsah (2)
Ayat-Ayat al-Quran tentang Legalitas Tawassul / Istighotsah
Sekarang yang menjadi pertanyaan kita untuk kaum pengikut sekte Wahhaby adalah;
Jikalau istighotsah adalah syirik, lantas apakah mungkin para nabi-nabi Allah tadi
membiarkan umat mereka melakukan syirik padahal mereka di utus untuk menumpas
segala macam bentuk syirik? Jikalau istighotsah dan tawassul syirik, apakah mungkin
mereka mengiyakan permintaan kaum musyrik yang justru akan menyebabkan mereka
berlebihan dalam melakukan kesyirikan, berarti para nabi itu telah melakukan tolong
menolong terhadap dosa dan permusuhan (ta’awun ‘alal istmi wal ‘udwan)?
Naudzubillah min dzalik. Jika istighotsah dan tawassul adalah perbuatan sia-sia maka,
apakah mungkin para nabi membiarkan –bahkan meridhoi dan mengajarkan- umat
mereka melakukan perbuatan sia-sia dimana kita tahu bahwa pebuatan sia-sia adalah
perbuatan yang tercela bagi makhluk yang berakal? Apakah para nabi tidak tahu bahwa
Allah Maha mendengar dan lagi Maha mengetahui sehingga membiarkan, meridhoi dan
bahkan mengajarkan umatnya ajaran tawassul dan istighotsah?
———————————————————————
Tawassul / Istighatsah (2)
Ayat-Ayat al-Quran tentang Legalitas Tawassul / Istighotsah
Setelah kita melihat secara ringkas pembagian pendapat beberapa kelompok berkaitan
dengan legalitas Tawassul / istighotsah, pada kesempatan kali ini kita akan mengkaji
secara global ayat-ayat al-Quran -yang menjadi pedoman utama kaum muslimin- yang
menjelaskan tentang konsep tersebut.
Legalitas Tawassul / Istighatsah
Di Sebarluaskan Oleh : http://www.aswaja-nu.blogspot.com
7
Dalam pandangan al-Quran akan kita dapati bahwa hakekat Istighotsah / Tawassul adalah
merupakan salah satu pewujudan dari peribadatan yang legal dalam syariat Allah SWT.
Ini merupakan hal yang jelas dalam ajaran al-Quran sehingga tidak mungkin dapat
dipungkiri oleh muslim manapun, hatta kalompok Wahhaby, jika mereka masih
mempercayai kebenaran al-Quran. Dalam al-Quran akan kita dapati beberapa contoh dari
permohonan pertolongan (istighotsah) dan pengambilan sarana (tawassul) para pengikut
setia para nabi dan kekasih Ilahi yang berguna untuk mendekatkan diri kepada Allah
SWT. Hal itu agar supaya Allah SWT mengabulkan doa dan hajatnya dengan segera. Di
sini kita akan memberi beberapa contoh yang ada:
1- Dalam surat Aali Imran ayat 49, Allah SWT berfirman: “Dan (sebagai) Rasul kepada
Bani Israil (yang Berkata kepada mereka): “Sesungguhnya Aku Telah datang kepadamu
dengan membawa sesuatu tanda (mukjizat) dari Tuhanmu, yaitu Aku membuat untuk
kamu dari tanah berbentuk burung; Kemudian Aku meniupnya, Maka ia menjadi seekor
burung dengan seizin Allah; dan Aku menyembuhkan orang yang buta sejak dari lahirnya
dan orang yang berpenyakit sopak; dan Aku menghidupkan orang mati dengan seizin
Allah; dan Aku kabarkan kepadamu apa yang kamu makan dan apa yang kamu simpan di
rumahmu. Sesungguhnya pada yang demikian itu adalah suatu tanda (kebenaran
kerasulanku) bagimu, jika kamu sungguh-sungguh beriman”.
Dalam ayat di atas disebutkan bahwa para pengkut Isa al-Masih bertawassul kepadanya
untuk memenuhi hajat mereka, termasuk menghidupkan orang mati, menyembuhkan
yang berpenyakit sopak dan buta. Tentu, mereka bertawassul kepada nabi Allah tadi
bukan karena mereka meyakini bahwa Isa al-Masih memiliki kekuatan dan kemampuan
secara independent dari kekuatan dan kemampuan Maha Sempurna Allah SWT, sehingga
tanpa bantuan Allah-pun Isa mampu melakukan semua hal tadi. Mereka meyakini bahwa
Isa al-Masih dapat melakukan semua itu (memenuhi berbagai hajat mereka) karena Isa
memiliki ‘kedudukan khusus’ (jah / wajih) di sisi Allah, sebagai kekasih Allah, sehingga
apa yang diinginkan olehnya niscaya akan dikabulkan oleh Allah SWT. Ini bukanlah
tergolong syirik, karena syirik adalah; “meyakini kekuatan dan kemampuan Isa al-Masih
(makhluk Allah) secara independent dari kekuatan dan kemampuan Allah”. Dan tentu,
muslimin sejati tidak akan meyakini hal tersebut. Namun aneh jika kelompok Wahhaby
langsung menvonis musyrik bagi pelaku istighotsah kepada para kekasih Ilahi semacam
itu.
Legalitas Tawassul / Istighatsah
Di Sebarluaskan Oleh : http://www.aswaja-nu.blogspot.com
8
2- Dalam surat Yusuf ayat 97, Allah SWT berfirman: “Mereka berkata: “Wahai ayah
kami, mohonkanlah ampun bagi kami terhadap dosa-dosa kami, Sesungguhnya kami
adalah orang-orang yang bersalah (berdosa)””.
Jika kita teliti dari ayat di atas maka akan dapat diambil pelajaran bahwa, para anak-anak
Yakqub mereka tidak meminta pengampunan dari Yakqub sendiri secara independent
tanpa melihat kemampuan dan otoritas mutlak Ilahi dalam hal pengampunan dosa.
Namun mereka jadikan ayah mereka yang tergolong kekasih Ilahi (nabi) yang memiliki
kedudukan khusus di mata Allah sebagai wasilah (sarana penghubung) permohonan
pengampunan dosa dari Allah SWT. Dan ternyata, nabi Yakqub pun tidak menyatakan
hal itu sebagai perbuatan syirik, atau memerintahkan anak-anaknya agar langsung
memohon kepada Allah SWT karena Allah Maha mendengarkan segala permohonan dan
doa, malahan Yakqub menjawab permohonan anak-anaknya tadi dengan ungkapan:
“Ya’qub berkata: “Aku akan memohonkan ampun bagimu kepada Tuhanku.
Sesungguhnya Dia-lah yang Maha Pengampun lagi Maha penyayang””(QS Yusuf: 98).
3- Dalam surat an-Nisa’ ayat 64, Allah SWT berfirman: “Dan kami tidak mengutus
seseorang Rasul melainkan untuk ditaati dengan seizin Allah. Sesungguhnya Jikalau
mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada
Allah, dan rasulpun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati
Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang”.
Dari ayat di atas juga dapat diambil pelajaran yang esensial yaitu bahwa, Rasululah SAW
sebagai makhluk Allah yang terkasih dan memiliki kedudukan (jah / maqom / wajih)
yang sangat tinggi di sisi Allah sehingga diberi otoritas oleh Allah untuk menjadi
perantara (wasilah) dan tempat meminta pertolongan (istighotsah) kepada Allah SWT.
Dan terbukti (nanti kita akan perjelas dalam kajian mendatang) bahwa banyak dari para
sahabat mulia Rasul yang tergolong Salaf Saleh menggunakan kesempatan emas tersebut
untuk memohon ampun kepada Allah SWT melalui perantara Rasulullah SAW. Hal ini
yang menjadi kajian para penulis Ahlusunnah wal Jamaah dalam mengkritisi ajaran
Wahhabisme, termasuk orang seperti Umar Abdus Salam dalam karyanya “Mukhalafatul
Wahhabiyah” (Lihat: halaman 22).
Sekarang yang menjadi pertanyaan kita untuk kaum pengikut sekte Wahhaby adalah;
Jikalau istighotsah adalah syirik, lantas apakah mungkin para nabi-nabi Allah tadi
membiarkan umat mereka melakukan syirik padahal mereka di utus untuk menumpas
segala macam bentuk syirik? Jikalau istighotsah dan tawassul syirik, apakah mungkin
mereka mengiyakan permintaan kaum musyrik yang justru akan menyebabkan mereka
Legalitas Tawassul / Istighatsah
Di Sebarluaskan Oleh : http://www.aswaja-nu.blogspot.com
9
berlebihan dalam melakukan kesyirikan, berarti para nabi itu telah melakukan tolong
menolong terhadap dosa dan permusuhan (ta’awun ‘alal istmi wal ‘udwan)?
Naudzubillah min dzalik. Jika istighotsah dan tawassul adalah perbuatan sia-sia maka,
apakah mungkin para nabi membiarkan –bahkan meridhoi dan mengajarkan- umat
mereka melakukan perbuatan sia-sia dimana kita tahu bahwa pebuatan sia-sia adalah
perbuatan yang tercela bagi makhluk yang berakal? Apakah para nabi tidak tahu bahwa
Allah Maha mendengar dan lagi Maha mengetahui sehingga membiarkan, meridhoi dan
bahkan mengajarkan umatnya ajaran tawassul dan istighotsah?
Jikalau benar bahwa ajaran Istighotsah / tawassul adalah perbuatan syirik, bid’ah, sia-sia,
khurafat, akibat tidak mengenal Allah yang Maha mendengar doa, dst….maka Oh betapa
bodohnya –naudzuillah min dzalik- para nabi Allah itu tentang konsep ajaran Allah…dan
Oh betapa cardasnya –naudzubillah min dzalik- Muhammad bin Abdul Wahhab an-Najdi
beserta para pengikut sektenya terhadap ajaran murni Ilahi….
Oleh karena itu wahai saudara-saudaraku muslimin, marilah kita simak kebodohankebodohan
Wahhaby tentang berbagai ajaran Ilahi berdasarkan ayat-ayat al-Quran, as-
Sunnah Rasulillah, prilaku Salaf Saleh dan fatwa para pemuka mazhab Ahlusunnah,
walaupun para pengikut Wahhaby tetap merasa benar sendiri dengan bekal kecongkakan
dan kebodohannya.
Bersambung….
Tawassul / Istighatsah (3)
Ayat-Ayat al-Quran tentang Obyek Tawassul / Istighotsah
Jika ada kelompok muslim yang membolehkan menjadikan ‘doa’ manusia saleh sebagai
sarana (wasilah) menuju ridho Allah maka menjadikan sarana (wasilah) kepribadian (dzat
/ syakhsyiyah) dan kedudukan (jah / maqom / manzilah / karamah / fadhilah) manusia
saleh tadi pun lebih utama untuk diperbolehkan. Karena antara ‘sarana pengkabulan doa’
dan ‘sarana kedudukan/kepribadian agung manusia saleh’ terdapat relasi erat dan
menjadio konsekuensi logis, riil dan legal (syar’i). Memisahkan antara keduanya sama
halnya memisahkan dua hal yang memiliki relasi erat, bahkan sampai pada derajat
hubungan sebab-akibat. Karena, pengkabulan doa manusia saleh oleh Allah disebabkan
karena kepribadiannya yang luhur, dan kepribadian luhur itulah yang menyebabkan
kedudukan mereka diangkat oleh Allah SWT.
Legalitas Tawassul / Istighatsah
Di Sebarluaskan Oleh : http://www.aswaja-nu.blogspot.com
10
———————————————————————————
Tawassul / Istighatsah (3)
Ayat-Ayat al-Quran tentang Obyek Tawassul / Istighotsah
Dalam al-Quran, Allah SWT telah menekankan kepada umat Muhammad SAW untuk
melaksanakan tawassul, dan Ia telah mengizinkan mereka untuk melakukan tawassul
dengan berbagai jenis dan bentuknya. Ini semua menjadi bukti bahwa tawassul sama
sekali tidak bertentangan dengan konsep kesempurnaan Ilahi, termasuk dengan ke-Maha
Mendengar-an dan ke-Maha Mengetahui-an Allah terhadap doa hamba-hamba-Nya,
apalagi dengan kesia-siaan perbuatan tawassul. Di sini, kita akan sebutkan secara ringkas
beberapa bentuk tawassul yang dilegalkan menurut al-Quran;
1- Tawassul dengan Nama-Nama Agung Allah
Allah SWT berfirman: “Hanya milik Allah asmaa-ul husna, Maka bermohonlah kepada-
Nya dengan menyebut asmaa-ul husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang
menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya. nanti mereka akan
mendapat balasan terhadap apa yang Telah mereka kerjakan.” (QS al-A’raf: 180)
Ayat di atas dalam rangka menjelaskan tentang kebaikan nama-nama Allah tanpa ada
perbedaan dari nama-nama itu. Dan melalui nama-nama penuh berkah itulah kita
diperkenankan untuk berdoa kepada Allah. Tentu nama Allah bukan Dzat Allah sendiri.
Akan tetapi melalui nama-nama Allah yang memiliki kandungan sifat keindahan, rahmat,
ampunan dan keagungan itulah kita disuruh memohon kepada Dzat Allah SWT, obyek
utama doa, untuk pengkabulan segala hajat dan pengampunan dosa.
2- Tawassul melalui Amal Saleh
Amal saleh merupakan salah satu jenis sarana (wasilah) yang dilegalkan oleh Allah SWT.
Amal saleh juga bukan Dzat Allah itu sendiri, namun Allah membolehkan kita
mengambil sarana darinya untuk memohon sesuatu kepada Dzat Allah SWT. Melalui
sarana tersebut seorang hamba akan didengar semua keinginannya oleh Allah. Ketika
tawassul berarti; “Mempersembahkan (menyodorkan) sesuatu kepada Allah demi untuk
mendapat Ridho-Nya” maka tanpa diragukan lagi bahwa amal saleh adalah salah satu
dari sekian sarana yang baik untuk mendapat ridho Ilahi. Hal ini sebagaimana yang
dilakukan oleh Nabi Ibrahim AS ketika pertama kali membangun Ka’bah. Allah dalam
al-Quran berfirman: “Dan (ingatlah), ketika Ibrahim meninggikan (membina) dasar-dasar
Legalitas Tawassul / Istighatsah
Di Sebarluaskan Oleh : http://www.aswaja-nu.blogspot.com
11
Baitullah bersama Ismail (seraya berdoa): “Ya Tuhan kami terimalah daripada kami
(amalan kami), Sesungguhnya Engkaulah yang Maha mendengar lagi Maha
Mengetahui”. Ya Tuhan kami, jadikanlah kami berdua orang yang tunduk patuh kepada
Engkau dan (jadikanlah) diantara anak cucu kami umat yang tunduk patuh kepada
Engkau dan tunjukkanlah kepada kami cara-cara dan tempat-tempat ibadat haji kami, dan
terimalah Taubat kami. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Penerima Taubat lagi Maha
Penyayang” (QS al-Baqarah 127-128)
Ayat di atas menjelaskan bagaimana hubungan antara Amal Saleh (pembangunan
Ka’bah) dengan keinginan Ibrahim al-Khalil agar Allah menjadikan dirinya, anakcucunya
sebagai muslim sejati dan agar Allah menerima taubatnya.
3- Tawassul melalui Doa Rasul
Allah SWT dalam al-Quran (dalam banyak ayat) menyebutkan betapa agung kedudukan
para Nabi dan Rasul di sisi-Nya. Allah SWT juga menekankan bahwa mereka adalah
manusia-manusia khusus yang berbeda secara kualitas maupun kuantatitas bobot
penciptaan yang mereka miliki dibanding manusia biasa, apalagi berkaitan dengan
pribadi agung Muhammad bin Abdillah SAW sebagai penghulu para Nabi dan Rasul.
Atas dasar itu, jika kita lihat, dalam masalah seruan (panggilan) saja –yang nampaknya
remeh- para manusia diperintah untuk menyamakannya dengan seruan terhadap manusia
biasa lainnya. Allah SWT berfirman: “Janganlah kamu jadikan panggilan Rasul diantara
kamu seperti panggilan sebahagian kamu kepada sebahagian (yang lain). Sesungguhnya
Allah Telah mengetahui orang-orang yang berangsur- angsur pergi di antara kamu
dengan berlindung (kepada kawannya), Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi
perintah-Nya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih” (QS an-Nur: 63)
Bahkan dalam kesempatan lain Allah SWT juga menjelaskan, betapa manusia agung
pemilik kedudukan (jah) tinggi di sisi Allah SWT itu telah mampu menjadi pengaman
bagi penghuni bumi ini dari berbagai bencana. Allah SWT berfirman: “Dan Allah sekalikali
tidak akan mengazab mereka, sedang kamu berada di antara mereka. dan tidaklah
(pula) Allah akan mengazab mereka, sedang mereka meminta ampun” (QS al-Anfal: 33).
Bahkan dalam banyak kesempatan (ayat), Allah SWT menyandingkan nama-Nya dengan
nama Rasulullah SAW dan menyatakan bahwa perbuatan keduanya dinyatakan sebagai
berasal dari sumber yang satu. Ini sebagai bukti, betapa tinngi, agung dan mulianya sosok
Nabi Muhammad SAW di mata Allah SWT. Sebagai contoh, apa yang dinyatakan Allah
SWT dalam al-Quran yang berbunyi: “Mereka (orang-orang munafik) mengemukakan
‘uzurnya kepadamu, apabila kamu Telah kembali kepada mereka (dari medan perang).
Legalitas Tawassul / Istighatsah
Di Sebarluaskan Oleh : http://www.aswaja-nu.blogspot.com
12
Katakanlah: “Janganlah kamu mengemukakan ‘uzur; kami tidak percaya lagi kepadamu,
(karena) Sesungguhnya Allah Telah memberitahukan kepada kami beritamu yang
sebenarnya. dan Allah serta rasul-Nya akan melihat pekerjaanmu, Kemudian kamu
dikembalikan kepada yang mengetahui yang ghaib dan yang nyata, lalu dia
memberitahukan kepadamu apa yang Telah kamu kerjakan” (QS at-Taubah: 94).
Atau ayat yang berbunyi: “Mereka (orang-orang munafik itu) bersumpah dengan (nama)
Allah, bahwa mereka tidak mengatakan (sesuatu yang menyakitimu). Sesungguhnya
mereka Telah mengucapkan perkataan kekafiran, dan Telah menjadi kafir sesudah Islam
dan mengingini apa yang mereka tidak dapat mencapainya, dan mereka tidak mencela
(Allah dan Rasul-Nya), kecuali Karena Allah dan rasul-Nya Telah melimpahkan karunia-
Nya kepada mereka. Maka jika mereka bertaubat, itu adalah lebih baik bagi mereka, dan
jika mereka berpaling, niscaya Allah akan mengazab mereka dengan azab yang pedih di
dunia dan akhirat; dan mereka sekali-kali tidaklah mempunyai pelindung dan tidak (pula)
penolong di muka bumi” (QS at-Taubah: 74)
dan masih banyak ayat lainnya yang menjadi bukti bahwa Rasulullah SAW adalah
makhluk termulia dan memiliki kedudukan khusus di sisi Khaliknya.
Jika kita telah mengetahui kedudukan tinggi Rasul semacam ini maka kita akan mendapat
kepastian (tentu dengan berdasar dalil) bahwa permohonan doa –tentu doa yang baikdengan
menjadikan Rasul sebagai sarana (wasilah) niscaya Allah SWT akan enggan
menolak permintaan kita dengan membawa nama kekasih-Nya tersebut.
Dengan menyebut nama Rasulullah Muhammad bin Abdullah SAW maka kita telah
menyeru Allah SWT dengan berpegangan terhadap tonggak yang sangat kokoh yang
tidak akan tergoyahkan. Atas dasar itu, Allah SWT memerintahkan kepada para pelaku
dosa dari kaum muslimin untuk berpegangan dengan tonngak yang tak tergoyahkan
tersebut (hakekat Muhammad Rasulullah SAW) dan meminta pengampunan di setiap
majlis mereka, baik untuk dirinya maupun untuk orang lain.
Karena melalui permohonan ampun melalui hakekat pribadi Muhammad SAW adalah
kunci dari penyebab turunnya rahmat, pengampunan dan ridho Allah SWT. Dalam hal ini
Allah SWT berfirman: “Dan kami tidak mengutus seseorang Rasul melainkan untuk
ditaati dengan seizin Allah. Sesungguhnya Jikalau mereka ketika menganiaya dirinya
datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan rasulpun memohonkan
ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima Taubat lagi
Maha Penyayang” (QS an-Nisa’: 64).
Legalitas Tawassul / Istighatsah
Di Sebarluaskan Oleh : http://www.aswaja-nu.blogspot.com
13
Ayat tadi dikuatkan dengan ayat lainnya, seperti firman Allah SWT: “Dan apabila
dikatakan kepada mereka: marilah (beriman), agar Rasulullah memintakan ampunan
bagimu, mereka membuang muka mereka dan kamu lihat mereka berpaling sedang
mereka menyombongkan diri” (QS al-Munafiqqun: 5). Semua itu sebagai sedikit bukti
bahwa Rasulullah SAW memiliki kedudukan, kemualiaan dan keagungan di mata Allah
SWT, Pencipta dan Penguasa alam semesta.
Hakekat tersembunyi dari pribadi agung Muhammad semacam ini hanya akan bisa
dipahami dan diyakini dengan baik oleh pribadi-pribadi yang mengenal betul siapakah
gerangan Muhammad bin Abdillah SAW tadi. Bagi orang yang belum mengenal diri
baginda Rasul niscaya ia akan meragukannya, karena masih mengaggap Rasul sebagai
manusia biasa, selayaknya manusia biasa lainnya. Anggapan kerdil semacam inilah yang
menyebabkan beberapa pengikut sekte Wahaby terjerumus ke lembah penyesatan
kelompok lain yang mengetahui rahasia keagungan Rasul sewaktu mereka memuji
Rasulullah SAW dengan pujian-pujian yang bersumber dari al-Quran dan Hadis sahih,
baik pujian yang terjelma dalam kitab-kitab maulid maupun kitab-kitab ratib. Rahasia
hakekat Muhammad –dan nabi-nabi lain- ini pulalah yang akan kita jadikan dalil
“Legalitas Tawassul kepada Pribadi Agung yang secara Zahir telah Meninggal”, pada
kesempatan mendatang.
4- Tawassul melalui Doa Saudara Mukmin
Salah satu sarana lain yang disinggung oleh Allah SWT dalam al-Quran adalah, doa
saudara mukmin. Dalam al-Quran, Allah SWT berfirman: “Dan orang-orang yang datang
sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka berdoa: “Ya Rabb kami, beri ampunlah
kami dan Saudara-saudara kami yang Telah beriman lebih dulu dari kami, dan janganlah
Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman;
Ya Rabb kami, Sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.”” (QS al-
Hasyr: 10). Ayat di atas menjelaskan bahwa kaum mukmin yang datang terakhir telah
mendoakan untuk mendapat pengampunan bagi kaum mukmin yang terdahulu. Ayat ini
selain membuktikan bahwa doa kepada orang terdahulu sangat ditekankan oleh Islam,
juga bisa menjadi bukti global bahwa memberi hadiah doa kepada yang telah mati –walau
bukan anak serta famili (kerabat)- akan dapat sampai dan bermanfaat buat sang mayit di
alam sana.
Legalitas Tawassul / Istighatsah
Di Sebarluaskan Oleh : http://www.aswaja-nu.blogspot.com
14
5- Tawassul melalui Diri Para Nabi dan Hamba Saleh
Bagian dari tawassul ini berbeda dengan bagian sebelumnya (lihat no 3). Jika pada
kesempatan yang lalu disebutkan mengenai tawassul melalui doa Nabi maka pada
kesempatan kali ini kita diberitahukan tentang tawassul kepada diri dan pribadi Nabi agar
menjadi sarana pengkabulan doa, karena mereka memiliki kedudukan (jah) di sisi Allah
SWT. Sebagai contoh apa yang dilakukan nabi Ayyub dengan baju bekas dipakai
(melekat di badan) oleh Yusuf sebagai sarana (wasilah) kesembuhannya dari kebutaan,
berkat izin Allah SWT. Jelas sekali perbedaan antara tawassul melalui doa Nabi, dengan
tawassul melalui diri Nabi.
Jadi, di sini kita diberitahukan tentang legalitas tawassul kepada Allah melalui keutamaan
(fadhilah), kedudukan (jah), kemuliaan (karamah) dan keagungan (adzamah) pribadi
Nabi/Rasul di sisi Allah SWT. Ini merupakan bentuk anugerah khusus (‘inayah khasshah)
yang Allah berikan kepada para nabi dan rasul, juga para kekasih-Nya yang lain. Jadi
sarana (wasilah) yang dijanjikan Allah SWT itu diletakkan kepada pribadi para hamba
Allah yang telah dimuliakan, diagungkan dan diangkat derajatnya oleh Allah SWT. Hal
itu sebagaimana Allah telah mengangkatnya ke pangkuan-Nya. Allah SWT berfirman:
“Dan kami tinggikan bagimu sebutan (nama)mu” (QS al-Insyirah: 4).
Orang-orang semacam itu (manusia Saleh pengikut sejati Rasul), mereka adalah para
pemiliki kedudukan tinggi di sisi Allah, maka Allah SWT memerintahkan kepada
segenap kaum muslimin lainnya untuk memuliakan dan menghormati mereka. Allah
SWT berfirman: “(yaitu) orang-orang yang mengikut rasul, nabi yang ummi yang
(namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang
menyuruh mereka mengerjakan yang ma’ruf dan melarang mereka dari mengerjakan
yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi
mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggubelenggu
yang ada pada mereka. Maka orang-orang yang beriman kepadanya.
memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan
kepadanya (Al Quran), mereka Itulah orang-orang yang beruntung” (QS al-A’raf: 157).
Jika kunci terkabulnya doa terdapat pada kepribadian dan kedudukan luhur di sisi Allah
SWT yang dimiliki oleh setiap manusia Saleh tadi maka sudah menjadi hal yang utama
jika mereka dijadikan sebagai sarana (wasilah) oleh segenap manusia muslim biasa untuk
mendapat keridhoaan Allah. Sebagaimana doa mereka pun selalu didengar dan
dikabulkan oleh Allah SWT. Jika ada kelompok muslim yang membolehkan menjadikan
‘doa’ manusia saleh sebagai sarana (wasilah) menuju ridho Allah maka menjadikan
Legalitas Tawassul / Istighatsah
Di Sebarluaskan Oleh : http://www.aswaja-nu.blogspot.com
15
sarana (wasilah) kepribadian (dzat / syakhsyiyah) dan kedudukan (jah / maqom /
manzilah / karamah / fadhilah) manusia saleh tadi pun lebih utama untuk diperbolehkan.
Karena antara ‘sarana pengkabulan doa’ dan ‘sarana kedudukan/kepribadian agung
manusia saleh’ terdapat relasi erat dan menjadio konsekuensi logis, riil dan legal (syar’i).
Memisahkan antara keduanya sama halnya memisahkan dua hal yang memiliki relasi
erat, bahkan sampai pada derajat hubungan sebab-akibat. Karena, pengkabulan doa
manusia saleh oleh Allah disebabkan karena kepribadiannya yang luhur, dan kepribadian
luhur itulah yang menyebabkan kedudukan mereka diangkat oleh Allah SWT.
Tawassul jenis ini juga memiliki sandaran hadis yang diriwayatkan oleh para imam
perawi hadis dari Ahlusunnah melalui jalur yang sahih. Untuk menyingkat waktu, bagi
yang ingin menelaah lebih lanjut hadis-hadis tersebut, silahkan merujuknya dalam kitabkitab
hadis seperti:
a- Musnad Imam Ahmad bin Hambal; jilid: 4 halaman: 138 hadis ke-16789
b- Sunan Ibnu Majah; jilid: 1 halaman: 441 hadis ke-1385
c- Sunan at-Turmudzi; jilid: 5 halaman: 531 dalam kitab ad-Da’awaat, bab 119 hadis ke-
3578
6- Tawassul melalui Kedudukan dan Keagungan Hamba Saleh
Disamping yang telah kita singgung pada bagian sebelumnya (no 5), jika kita telaah dari
sejarah hidup para pendahulu dari kaum muslimin niscaya akan kita dapati bahwa mereka
melegalkan tawassul dengan jalan ini, sesuai pemahaman mereka tentang syariat yang
dibawa oleh Rasulullah SAW.
Mereka bertawassul melalui kedudukan dan kehormatan para manusia Saleh, dimana
diyakini bahwa para manusia saleh tadi pun memiliki kedudukan tinggi di sisi Allah
SWT. Manusia saleh yang dimaksud di sini adalah sebagaimana apa yang dikemukakan
oleh Rasul kepada Muadz bin Jabal ini, Rasul bersabda: “Wahai Muadz, apakah engkau
mengetahui apakah hak Allah kepada hamba-Nya?”. Muadz menjawab: “Allah dan
Rasul-Nya lebih mengetahui”. Lantas Rasul bersabda: “Sesunguhnya hak Allah kepada
Hamba-Nya adalah hendaknya hamba-hamba-Nya itu menyembah-Nya dan tidak
menyekutukan-Nya terhadap apapun”. Agak beberapa lama, kembali Rasul bersabda:
“Wahai Muadz!”, aku (Muadz) menjawab: “Ya wahai Rasul!?”. Rasul bertanya: “Adakah
engkau tahu, apakah hak seorang hamba ketika telah melakukan hal tadi?”. aku (Muadz)
menjawab: “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui”. Rasul bersabda: “Ia tiada akan
mengazabnya”. (Lihat: Sohih Muslim dengan syarh dari an-Nawawi jilid: 1 halaman:
Legalitas Tawassul / Istighatsah
Di Sebarluaskan Oleh : http://www.aswaja-nu.blogspot.com
16
230-232). Dari hadis tadi jelas bahwa maksud dari Saleh adalah setiap orang yang
melakukan penghambaan penuh (ibadah) kepada Allah dan tidak melakukan penyekutuan
terhadap Allah SWT. Dan dikarenakan tawassul (mengambil wasilah) bukanlah tergolong
penyekutuan Allah –karena dilegalkan oleh Allah SWT- maka para pelaku tawassul pun
bisa masuk kategori orang Saleh pula, jika ia melakukan peribadatan yang tulus dan tidak
melakukan kesyirikan (penyekutuan Allah). Orang-orang saleh semacam itulah yang
dinyatakan dalam al-Quran sebagai pemancar cahaya Ilahi yang dengannya mereka hidup
di tengah-tengah manusia. Allah SWT berfirman:
“Dan apakah orang yang sudah mati Kemudian dia kami hidupkan dan kami berikan
kepadanya cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan di tengahtengah
masyarakat manusia, serupa dengan orang yang keadaannya berada dalam gelap
gulita yang sekali-kali tidak dapat keluar dari padanya? Demikianlah kami jadikan orang
yang kafir itu memandang baik apa yang Telah mereka kerjakan” (QS al-An’am: 122).
Atau sebagaimana dalam firmah Allah SWT lainya; “Hai orang-orang yang beriman
(kepada para rasul), bertakwalah kepada Allah dan berimanlah kepada Rasul-Nya,
niscaya Allah memberikan rahmat-Nya kepadamu dua bagian, dan menjadikan untukmu
cahaya yang dengan cahaya itu kamu dapat berjalan dan dia mengampuni kamu. dan
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS al-Hadid: 28). Sebagaimana kita
semua mengetahui bahwa, fungsi dan kekhususan cahaya adalah; “ia sendiri terang dan
mampu menerangi obyek lain”. Begitu juga dengan manusia saleh yang mendapat
otoritas pembawa pancaran Ilahi.
Dari sini jelas sekali bahwa al-Quran telah menun jukan kepada kita bahwa, para nabi dan
manusia saleh dari hamba-hamba Allah –seperti peristiwa umat Isa al-Masih atau
saudara-saudara Yusuf (anak-anak Yakqub)- telah melakukan tawassul. Dan al-Quran
pun telah dengan jelas memberikan penjelasan tentang beberapa obyek tawassul.
Tawassul tersebut bukan hanya sebatas berkaitan dengan doa para manusia kekasih Ilahi
itu saja, bahkan pada pribadi para manusia kekasih Ilahi itu juga. Hal itu karena antara
pribadi para kekasih Ilahi dengan bacaan doa mereka tidak dapat dipisahkan dan terjadi
relasi (konsekuensi) yang sangat erat. Hal ini akan semakin jelas ketika kita memasuki
kajian selanjutnya.
Bersambung…
Legalitas Tawassul / Istighatsah
Di Sebarluaskan Oleh : http://www.aswaja-nu.blogspot.com
17
Tawassul / Istighatsah (4)
Hadis-Hadis tentang Legalitas Tawassul / Istighotsah
Kejelasan-kejelasan semacam inilah yang tidak dapat dipungkiri oleh kaum muslimin
manapun, terkhusus para pengikut sekte Wahabisme. Atas dasar itu, Ibnu Taimiyah
sendiri dalam kitabnya “at-Tawassul wa al-Wasilah” dengan mengutip pendapat para
ulama Ahlusunah seperti; Ibnu Abi ad-Dunya, al-Baihaqi, at-Thabrani, dan sebagainya
telah melegalkan tawassul sesuai dengan hadis-hadis yang ada.
————————————————————————
Tawassul / Istighatsah (4)
Hadis-Hadis tentang Legalitas Tawassul / Istighotsah
Pada kesempatan kali ini, kita akan mengkaji beberapa contoh hadis yang menjadi
landasan legalitas tawassul/istighotsah. Dalam beberapa kitab standart Ahlusunah wal
Jamaah akan dapat kita temui beberapa hadis yang menjelaskan tentang legalitas hal
tawassul dan istighotsah terhadap Rasul dan para hamba Allah yang saleh. Sebagai
contoh apa yang disebutkan dalam hadis-hadis di bawah ini:
1- Dari Ustman bin Hanif yang mengatakan: Sesungguhnya telah datang seorang lelaki
yang tertimpa musibah (penyakit) kepada Nabi SAW. Lantas lelaki itu mengatakan
kepada Rasul; “Berdoalah kepada Allah untukku agar Ia menyembuhkanku!”. Lantas
Rasul bersabda: “Jika engkau menghendaki maka aku akan menundanya untukmu, dan
itu lebih baik. Namun jika engkau menghendaki maka aku akan berdoa (untukmu)”.
Lantas dia (lelaki tadi) berkata: “Memohonlah kepada-Nya (untukku)!”. Lantas Rasul
memerintahkannya untuk mengambil air wudhu, kemudian ia berwudhu dengan baik
lantas melakukan shalat dua rakaat. Kemudian ia membaca doa tersebut:
اللھم إني أسئلك و أتوجھ إلیك بمحمد نبي الرحمة یا محمد إني قد توجھت بك إلي ربي
في حاجتي ھذه لتُقضي اللھم فشفعھ فيٍَ
(Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu, dan aku datang menghampiri-Mu,
demi Muhammad sebagai Nabi yang penuh rahmat. Ya Muhammad, sesungguhnya aku
telah datang menghampiri-mu untuk menjumpai Tuhan-ku dan meminta hajat-ku ini agar
terkabulkan. Ya Allah, maka berilah pertolongan kepadanya untukku)
Yang dimaksud dengan Abu Jakfar dalam hadis tadi adalah, Abu Jakfar al-Khathmi yang
dinyatakan kepercayaannya oleh banyak ahli rijal hadis, termasuk ar-Rifa’i dalam kitab
“At-Tawasshul ila Haqiqat at-Tawassul” halaman 158.
Legalitas Tawassul / Istighatsah
Di Sebarluaskan Oleh : http://www.aswaja-nu.blogspot.com
18
Hadis di atas juga diriwayatkan oleh para Imam hadis terkemuka Ahlusunnah, seperti:
Imam at-Turmudzi dalam “Sunan at-Turmudzi” 5/531 hadis ke-3578, Imam an-Nasa’i
dalam kitab “as-Sunan al-Kubra” 6/169 hadis ke-10495, Imam Ibnu Majah dalam “Sunan
Ibnu Majah” 1/441 hadis ke-1385, Imam Ahmad dalam “Musnad Imam Ahmad” 4/138
hadis ke-16789, al-Hakim an-Naisaburi dalam “Mustadrak as-Shohihain” 1/313, as-
Suyuthi dalam kitab “al-Jami’ as-Shoghir” halaman 59, dsb. Sehingga dari situ, Ibnu
Taimiyah pun menyatakan kesahihannya pula .
Anehnya, sebagian Wahhaby menyatakan bahwa tawassul/istighotsah semacam itu
perbuatan sia-sia dan bertentangan dengan ke-Maha mendengar dan mengetahui-an Allah
dengan menyatakan; “Kenapa kita harus berdoa melalui orang dengan alasan ia lebih
dekat kedudukannya di sisi Allah dan doanya lebih didengar oleh-Nya? Bukankah Allah
Maha mendengar lagi Maha mengetahui atas doa para hamba-Nya?”.
Justru pertanyaan selanjutnya yang harus dijawab oleh orang Wahhaby yang berpikiran
semacam itu adalah; kenapa Rasul menjawab permintaan orang tadi dengan mengatakan
“…Namun jika engkau menghendaki maka aku akan berdoa (untukmu)”, apakah Nabi –
yang makhluk erkasih Ilahi itu- tidak mengetahui apa yang ada di otak kepala Wahhaby
tadi? Apakah mereka lebih pintar dari Nabi?
Dari hadis di atas juga dapat kita ambil pelajaran bahwa, bagaimana Nabi mengajarkan
cara bertawassul kepada lelaki terkena bencana tersebut. Dan juga dapat kita ambil
pelajaran bahwa, bersumpah atas nama pribadi Nabi ( بمحمد ) adalah hal yang
diperbolehkan (legal menurut syariat Islam), begitu juga dengan kedudukan (jah)
Muhammad yang tertera dalam kata “ نبي الرحمة ”. Jika tidak maka sejak semula Nabi akan
menegur lelaki tersebut. Jadi tawassul lelaki tersebut melalui pribadi Muhammad –bukan
hanya doa Nabi- yang sekaligus atas nama sebagai Nabi pembawa Rahmat yang
merupakan kedudukan (jah) tinggi anugerah Ilahi merupakan hal legal menurut syariat
Muhammad bin Abdillah SAW.
2- Diriwayatkan oleh ‘Aufa al-‘Aufa dari Abi Said al-Khudri, bahwa Rasul SAW pernah
menyatakan: “Barangsiapa yang keluar dari rumahnya untuk melakukan shalat (di
masjid) maka hendaknya mengatakan:
“اللھم إني أسئلك بحق السائلین علیك ”و أسئلك بحق ممشاي ھذا فإني لم أخرج أشرا و
لا بطرا و لا ریائا و لا سمعة خرجت اتقاء سختك و ابتغاء مرضاتك فأسئلك أن تعیذني
من النار و أن تغفرلي ذنوبي إنھ لا یغفر الذنوب إلا أنت”
Legalitas Tawassul / Istighatsah
Di Sebarluaskan Oleh : http://www.aswaja-nu.blogspot.com
19
(Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-mu, demi para pemohon kepada-Mu.
Dan aku memohon kepada-Mu, demi langkah kakiku ini. Sesungguhnya aku tidak keluar
untuk berbuat aniaya, sewenang-wenang, ingin pujian dan berbangga diri. Aku keluar
untuk menjauhi murka-Mu dan mengharap ridho-Mu. Maka aku memohon kepada-Mu
agar Kau jauhkan diriku dari api neraka. Dan hendaknya Engkau ampuni dosaku, karena
tiada dzat yang dapat menghapus dosa melainkan diri-Mu), niscaya Allah akan
menyambutnya dengan wajah-Nya kepadanya dan memberinya balasan sebanyak tujuh
puluh ribu malaikat”. (Lihat: Kitab “Sunan Ibnu Majah”, 1/256 hadis ke-778 bab berjalan
untuk melakukan shalat)
Dari hadis di atas dapat diambil pelajaran bahwa, Rasul SAW mengajarkan kepada kita
bagaimana kita berdoa untuk menghapus dosa kita dengan menyebut (bersumpah dengan
kata ‘demi’) diri (dzat) para peminta doa dari para manusia saleh dengan ungkapan “ بحق
السائلین علیك ”. Rasulullah di situ tidak menggunakan kata “ بحق دعاء السائلین علیك ” (demi doa
para pemohon kepada-Mu), tetapi langsung menggunakan ‘diri pelaku perbuatan’
(menggunakan isim fa’il). Dengan begitu berarti Rasul SAW membenarkan –bahkan
mengajarkan- bagaimana kita bertawassul kepada diri dan kedudukan para manusia saleh
kekasih Ilahi (wali Allah) -yang selalu memohon kepada Allah SWT- untuk menjadikan
mereka sebagai sarana penghubung antara kita dengan Allah dalam masalah permintaan
syafa’at, permohonan ampun, meminta hajat, dsb.
3- Diriwayatkan dari Anas bin Malik, ia mengatakan; ketika Fathimah binti Asad
meninggal dunia, Rasulullah SAW datang dan duduk di sisi kepalanya sembari bersabda:
رحمك الله یا أمي بعد أمي“ ” (Allah merahmatimu wahai ibuku pasca ibu (kandung)-ku). Lantas
beliau (Rasul) menyebutkan pujian terhadapnya, lantas mengkafaninya dengan jubah
beliau. Kemudian Rasul memanggil Usamah bin Zaid, Abu Ayyub al-Anshari, Umar bin
Khattab dan seorang budak hitam untuk menggali kuburnya. Lantas mereka menggali
liang kuburnya. Sesampai di liang lahat, Rasul sendiri yang menggalinya dan
mengeluarkan tanah lahat dengan menggunakan tangan beliau. Setelah selesai (menggali
lahat), kemudian Rasul berbaring di situ sembari berkata:
ا“
#لله الذي یحي و یمیت و ھو حي لا یموت اغفر لأمي فاطمة بنت أسد و وسع علیھا
مدخلھا بحق نبیك و الأنبیاء الذین من قبلي”
Legalitas Tawassul / Istighatsah
Di Sebarluaskan Oleh : http://www.aswaja-nu.blogspot.com
20
(Allah Yang menghidupkan dan mematikan. Dan Dia Yang selalu hidup, tiada pernah
mati. Ampunilah ibuku Fathimah binti Asad. Perluaskanlah jalan masuknya, demi Nabi-
Mu dan para nabi sebelumku). (Lihat: Kitab al-Wafa’ al-Wafa’)
Hadis di atas jelas sekali bagaimana Rasulullah bersumpah demi kedudukan (jah) yang
beliau miliki, yaitu kenabian, dan kenabian para pendahulunya yang telah mati, untuk
dijadikan sarana (wasilah) pengampunan kesalahan ibu (angkat) beliau, Fathimah binti
Asad. Dan dari hadis di atas juga dapat kita ambil pelajaran, bagaimana Rasul memberi
‘berkah’ (tabarruk) liang lahat itu untuk ibu angkatnya dengan merebahkan diri di sana,
plus mengkafani ibunya tersebut dengan jubah beliau.
Sebagai penutup dari contoh hadis-hadis tentang legalitas tawassul dalam syariat Islam,
kita akan melihat satu ‘pujian’ yang diberikan salah satu sahabat Rasul kepada diri
Rasulullah SAW yang memiliki muatan Tawassul.
4- Diriwayatkan bahwa Sawad bin Qoorib melantunkan pujiannya terhadap Rasul dimana
dalam pujian tersebut juga terdapat muatan permohonan tawassul kepada Rasulullah
SAW. Ia mengatakan:
و أشھد أن الله لا رب غیره …. * …. و أنك مأمون علي كل غائب
و أنك أدني المرسلین وسیلة …. * …. الي الله یان الأكرمین الأطائب
فمرنا بما یأتیك یا خیر مرسل …. * …. و إن كان فیما فیھ شیب الذوائب
و كن لي شفیعا یوم لا ذو شفاعة *…. …. سواك بمغن عن سواد بن قارب
(Lihat: Kitab Fathul Bari 7/137, atau kitab at-Tawasshul fi Haqiqat at-Tawassul karya ar-
Rifa’i halaman 300)
Kejelasan-kejelasan semacam inilah yang tidak dapat dipungkiri oleh kaum muslimin
manapun, terkhusus para pengikut sekte Wahabisme. Atas dasar itu, Ibnu Taimiyah
sendiri dalam kitabnya “at-Tawassul wa al-Wasilah” dengan mengutip pendapat para
ulama Ahlusunah seperti; Ibnu Abi ad-Dunya, al-Baihaqi, at-Thabrani, dan sebagainya
telah melegalkan tawassul sesuai dengan hadis-hadis yang ada. (Lihat: Kitab “at-
Tawassul wal Wasilah” karya Ibnu Taimiyah halaman 144-145)
Walaupun beberapa hadis di atas secara tersirat telah membuktikan legalitas tawassul
terhadap para nabi terdahulu dan para manusia saleh yang telah mati, namun mungkin
masih menjadi pertanyaan di benak kaum muslimin, adakah dalil yang dengan jelas
Legalitas Tawassul / Istighatsah
Di Sebarluaskan Oleh : http://www.aswaja-nu.blogspot.com
21
memperbolehkan tawassul/istighotsah terhadap orang yang zahirnya telah mati? Marilah
kita ikuti kajian selanjutnya.
Bersambung….
Tawassul / Istighatsah (5)
Prilaku Salaf Saleh Penguat Legalitas Tawassul / Istighotsah
Jika riwayat sebelumnya berkaitan dengan ‘diam’-nya Ali terhadap orang yang
bertawassul kepada yang telah meninggal. Padahal kita tahu bahwa Ali adalah sahabat
dan menantu mulia Rasul. Kini berkaitan dengan ‘saran’ istri Rasulullah. Jika
bertawassul/istighotsah terhadap orang yang telah mati adalah bid’ah atau syirik, maka
apakah mungkin istri Rasul -seperti Ummulmukminin Aisyah- tidak mengetahui hal itu,
padahal ia selalu hidup bersama Rasul yang selayaknya Rasul sebelum mendidik orang
lain terlebih dahulu mendidik istri dan anaknya terlebih dahulu. Jika istighotsah terhadap
orang yang zahirnya telah mati adalah bid’ah dan syirik –yang dibenci dalam Islamlantas,
apakah mungkin Rasul tidak megindahkan perintah Allah untuk; “Jagalah dirimu
dan keluargamu dari api neraka!”? Apakah kaum pengikut sekte Wahhaby jauh lebih
paham Islam daripada Ali bin Abi Thalib dan Ummulmukminin Aisyah? Silahkan
direnungkan dengan hati dan kepala yang dingin!
—————————————————————————–
Tawassul / Istighatsah (5)
Prilaku Salaf Saleh Penguat Legalitas Tawassul / Istighotsah
Kita semua mengetahui bahwa para sahabat, tabiin dan tabiut at-tabiin adalah termasuk
dalam golongan salaf soleh dimana mereka hidup sangat dekat denga zaman penurunan
risalah Islam. Terkhusus para sahabat yang mendapat pengajaran langung dari Rasulullah
SAW dimana setiap perkara yang tidak mereka pahami langsung mereka tanyakan dan
langsung mendapat jawabannya dari baginda Rasul. Salah satu dari sekian perkara yang
menjadi bahan kajian kita kali ini adalah, bagaimana pemahaman para sahabat berkaitan
dengan konsep istighotsah / tawassul yang sesuai dengan petunjuk Rasulullah SAW.
Untuk mempersingkat waktu, di sini kita akan menunjukkan beberapa riwayat yang
menjelaskan pemahaman Salaf Saleh –yang dalam hal ini mencakup para sahabat mulia
Legalitas Tawassul / Istighatsah
Di Sebarluaskan Oleh : http://www.aswaja-nu.blogspot.com
22
Rasul- berkaitan dengan konsep tersebut, dan parktik mereka dalam kehidupan seharihari.
Oleh karenanya, kita akan memberikan beberapa contoh seperti di bawah ini:
1- Dahulu Rasulullah mengajarkan seseorang tentang tata cara memohon kepada Allah
dengan lantas menyeru Nabi untuk bertawassul kepadanya, dan meminta kepada Allah
agar mengabulkan syafaatnya (Nabi) dengan mengatakan:
“یا محمد یا رسول الله إني أتوسل بك إلي ربي في حاجتي لتُقضي لي اللھم فشفعھ فيٍ ”َ .
(Wahai Muhammad, Wahai Rasulullah! Sesungguhnya aku bertawassul denganmu
kepada Tuhanku dalam memenuhi hajatku agar dikabulkan untukku. Ya Allah, terimalah
bantuannya padaku). (Lihat: Kitab “Majmu’atur Rasa’il wal Masa’il” karya Ibnu
Taimiyah 1/18)
Jelas sekali bahwa yang dimaksud dengan lelaki di atas adalah lelaki muslim yang
sezaman dan pernah hidup bersama Rasul, serta pernah belajar dari beliau, yang semua
itu adalah memenuhi kriteria sahabat menurut ajaran Ahlusunnah wal Jamaah. Mari kita
teliti dan renungkan kata demi kata dari ajaran Rasul terhadap salah seorang sahabat itu
sewaktu beliau mengajarinya tata cara bertawassul melalui ‘diri’ Muhammad sebagai
Rasulullah, satu ‘kedudukan’ (jah) tinggi di sisi Allah. Sengaja kita ambil rujukan dari
Ibnu Taimiyah agar pengikut sekte Wahhaby memahami dengan baik apa sinyal dibalik
tujuan kami menukil dari kitab syeikh mereka itu, agar mereka berpikir.
2- Khalifah Umar bin Khattab pernah meminta hujan kepada Allah melalui paman Rasul,
Abbas bin Abdul Mutthalib. Dalam bertawassul, khalifah Umar mengatakan:
ا“
للھم كنا نتوسل إلیك بنبینا فتسقینا و إنا نتوسل إلیك بعم نبینا فاسقنا. قال: فیسقون”
(Ya Allah, dahulu kami bertawassul kepada-Mu melalui Nabi kami lantas Engkau beri
kami hujan. Sekarang kami bertawassul kepada-Mu melalui paman Nabi kami maka beri
kami hujan. Dan (perawi) berkata: maka mereka diberi hujan). (Lihat: Kitab “Shohih
Bukhari” 2/32 hadis ke-947 dalam Bab Shalat Istisqo’)
Riwayat di atas memberikan pelajaran kepada kita bagaimana Khalifah Umar –sahabat
Rasul- melakukan hal yang pernah diajarkan Rasul kepada para sahabat mulia beliau.
Legalitas Tawassul / Istighatsah
Di Sebarluaskan Oleh : http://www.aswaja-nu.blogspot.com
23
Walaupun riwayat di atas menunjukkan bahwa Umar bin Khattab bertawassul kepada
manusia yang masih hidup, akan tetapi hal itu tidak berarti secara otomatis riwayat di atas
dapat menjadi bukti bahwa bertawassul kepada yang telah mati adalah ‘haram’ (entah
karena alasan syirik atau bid’ah), karena tidak ada konsekuensi di situ. Di tambah lagi
nanti terdapat riwayat lain yang menjelaskan bahwa sebagian sahabat –sesuai dengan
pemahaman mereka dari apa yang diajarkan Rasul- juga melakukan tawassul kepada
seseorang yang secara zahir telah mati. Yang jelas, riwayat di atas dengan tegas
menjelaskan akan legalitas tawassul / istighitsah dan menyangkal pendapat sebagian
Wahhaby yang mengatakan bahwa bertawassul adalah perbuatan sis-sia dan bertentangan
dengan ke-Mahamendengar dan Mahamengetahui-an Allah SWT. Juga sekaligus
menjelaskan legalitas tawassul melalui diri (Abbas bin Abdul Mutthalib) dan kedudukan
(sebagai paman manusia termulia) di hadapan Allah SWT.
3- Berkata al-Hafidz Abu Abdillah Muhammad bin Musa an-Nukmani dalam karyanya
yang berjudul “Mishbah adz-Dzolam”; Sesungguhnya al-Hafidz Abu Said as-Sam’ani
menyebutkan satu riwayat yang pernah kami nukil darinya yang bermula dari Khalifah
Ali bin Abi Thalib yang pernah mengisahkan: “Telah datang kepada kami seorang badui
setelah tiga hari kita mengebumikan Rasulullah. Kemudian ia menjatuhkan dirinya ke
pusara Rasul dan membalurkan tanah (kuburan) di atas kepalanya seraya berkata: Wahai
Rasulullah, engkau telah menyeru dan kami telah mendengar seruanmu. Engkau telah
mengingat Allah dan kami telah mengingatmu. Dan telah turun ayat; “Sesungguhnya
Jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun
kepada Allah, dan rasulpun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka
mendapati Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang” (QS an-Nisa: 64) dan
aku telah menzalimi diriku sendiri. Dan aku mendatangimu agar engkau memintakan
ampun untukku. Lantas terdengar seruan dari dalam kubur: Sesungguhnya Dia (Allah)
telah mengampunimu”. (Lihat: Kitab “Wafa’ al-Wafa’” karya as-Samhudi 2/1361)
Dari riwayat di atas menjelaskan bahwa; bertawassul kepada Rasulullah pasca wafat
beliau adalah hal yang legal dan tidak tergolong syirik atau bid’ah. Bagaimana tidak?
Sewaktu prilaku dan ungkapan tawassul / istighotsah itu disampaikan oleh si Badui di
pusara Rasul -dengan memeluk dan melumuri kepalanya dengan tanah pusara- yang di
tujukan kepada Rasul yang sudah dikebumikan, hal itu berlangsung di hadapan Amirul
mukminin Ali bin Abi Thalib. Dan khalifah Ali sama sekali tidak menegurnya, padahal
beliau adalah salah satu sahabat terkemuka Rasulullah yang memiliki keilmuan yang
sangat tinggi dimana Rasulullah pernah bersabda berkaitan dengan Ali bin Abi Thalib
KW:
Legalitas Tawassul / Istighatsah
Di Sebarluaskan Oleh : http://www.aswaja-nu.blogspot.com
24
- “Ali bersama kebenaran dan kebenaran bersama Ali” (Lihat: Kitab “Tarikh Baghdad”
karya Khatib al-Baghdadi 14/321, dan dengan kandungan yang sama bisa dilihat dalam
kitab “Shohih at-Turmudzi” 2/298)
- “Ali bersama al-Quran dan al-Quran bersama Ali, keduanya tidak akan pernah terpisah
hingga hari kebangkitan” (Lihat: Kitab “Mustadrak as-Shohihain” karya al-Hakim an-
Naisaburi 3/124)
- “Aku (Rasul) adalah kota ilmu dan Ali adalah pintu gerbangnya. Barangsiapa
menghendaki (masuk) kota maka hendaknya melalui pintu gerbangnya” (Lihat: Kitab
“Mustadrak as-Shohihain” 3/126)
- “Engkau (Ali) adalah penjelas kepada umatku tentang apa-apa yang mereka selisihkan
setelah (kematian)-ku” (Lihat: Kitab Mustadrak as-Shohihain” 3/122)
Jika tawassul / istighotsah terhadap orang yang telah mati adalah syirik atau bid’ah –
sebagaimana yang diiskukan oleh kelompok sekte Wahhaby- dan pada riwayat di atas
disebutkan bahwa Ali bin Abi Thalib –pemilik pujian-pujian Rasul yang tertera dalam
kitab-kitab Ahlusunnah tadi- yang menjadi saksi perbuatan si Badui muslim tadi -yang
bertawassul di pusara Rasul- lantas diam padahal beliau mampu untuk melarangnya jika
itu tidak legal (ghair syar’i) maka ada dua kemungkinan;
1- Ali adalah sahabat yang tidak tahu apa-apa (bodoh) tentang hukum Islam, terkhusus
masalah larangan bertawassul kepada orang yang telah meninggal. Dimana dari ungkapan
pada poin ini juga meniscayakan bahwa, Rasul telah berbohong kepada kita (umatnya),
bahwa ternyata Ali bukan pemilik keutamaan-keutamaan seperti hadis-hadis di atas.
Bagaimana mungkin orang yang tidak memiliki kemuliaan semacam itu lantas
direkomendasikan oleh Rasul yang al-Amin itu?
2- Hadis-hadis pujian Rasul terhadap pribadi Ali itu benar. Dan diamnya Ali atas
perbuatan si Badui tadi membuktikan bahwa bertawassul/istighotsah terhadap orang yang
zahirnya telah mati itu adalah legal menurut syariat Islam, paling tidak yang dipahami Ali
sebagai pintu gerbang ilmu Rasul, yang selalu bersama kebenaran, selalu bersama al-
Quran dan yang diberi mandat Rasul untuk menjelaskan hal-hal yang terjadi perbedaan
pendapat di kalangan kaum muslimin, pasca wafat Rasul.
Tentu, bagi seorang ‘Ahlusunnah wal Jamaah sejati’, pasti ia akan memilih kemungkinan
yang kedua. Karena kemungkinan yang pertama itu sangat berat resikonya di dunia
Legalitas Tawassul / Istighatsah
Di Sebarluaskan Oleh : http://www.aswaja-nu.blogspot.com
25
maupun di akherat, terkhusus bagi pengaku Ahlusunnah wal Jamaah. Kecuali jika kita
melakukan kebodohan sebagaimana apa yang sering dilakukan oleh kebanyakan ulama
Wahhaby, mudah menvonis sebuah hadis yang tidak sesuai dengan doktrin akidahnya
dengan vonis “hadis lemah” (dho’if), tanpa melakukan pengecekan secara detail terlebih
dahulu.
4- Ad-Darami meriwayatkan: Penghuni Madinah mengalami paceklik yang sangat parah.
Lantas mereka mengadu kepada Aisyah (ummul Mukminin). Lantas Aisyah mengatakan:
“Lihatlah pusara Nabi! Jadikanlah ia (kuburan) sebagai penghubung menuju langit
sehingga tidak ada lagi penghalang dengan langit. Lantas ia (perawi) mengatakan:
Kemudian mereka (penduduk Madinah) melakukannya, kemudian turunlah hujan yang
banyak hingga tumbulah rerumputan dan gemuklah onta-onta dipenuhi dengan lemak.
Maka saat itu disebut dengan tahun “al-fatq” (sejahtera)”. (Lihat: Kitab “Sunan ad-
Darami” 1/56)
Jika riwayat sebelumnya berkaitan dengan ‘diam’ Ali terhadap orang yang bertawassul
kepada yang telah meninggal. Padahal kita tahu bahwa Ali adalah sahabat dan menantu
mulia Rasul. Kini berkaitan dengan ‘saran” istri Rasulullah. Jika bertawassul/istighotsah
terhadap orang yang telah mati adalah bid’ah atau syirik, maka apakah mungkin istri
Rasul -seperti Ummulmukminin Aisyah- tidak mengetahui hal itu, padahal ia selalu hidup
bersama Rasul yang selayaknya Rasul sebelum mendidik orang lain terlebih dahulu
mendidik istri dan anaknya terlebih dahulu. Jika istighotsah terhadap orang yang zahirnya
telah mati adalah bid’ah dan syirik –yang dibenci dalam Islam- lantas, apakah mungkin
Rasul tidak megindahkan perintah Allah untuk; “Jagalah dirimu dan keluargamu dari api
neraka!”? Apakah kaum pengikut sekte Wahhaby jauh lebih paham Islam daripada Ali
bin Abi Thalib dan Ummulmukminin Aisyah? Silahkan direnungkan dengan hati dan
kepala yang dingin!
5- Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dengan sanad yang sahih. Dari riwayat Abu Salih
as-Saman dari Malik ad-Dar –seorang bendahara Umar- yang berkata: Masyarakat
mengalami paceklik pada zaman (kekhalifahan) Umar. Lantas seseorang datang ke
makam Nabi seraya berkata: Ya Rasulullah mintakan hujan untuk umatmu, karena
mereka hendak binasa. Kemudian datanglah seseorang dimimpi tidurnya dan berkata
kepadanya: Datangilah Umar! Saif juga meriwayatkan hal tersebut dalam kitab al-Futuh;
Sesungguhnya lelaki yang bermimpi tadi adalah Bilal bin al-Harits al-Muzni, salah
seorang sahabat. (Lihat: Kitab “Fathul Bari” 2/577)
Legalitas Tawassul / Istighatsah
Di Sebarluaskan Oleh : http://www.aswaja-nu.blogspot.com
26
Riwayat di atas juga menguatkan bahwa beapa di kalngan sahabat Nabi kala itu sudah
menjadi hal yang biasa jika seseorang memiliki hajat untuk bertawassul, walaupun
kepada Rasulullah yang secara zahir telah meninggal dunia. Lantas apakah kaum sekte
Wahabi masih bersikeras menyatakan bahwa Salaf Saleh tidak pernah mencontohkan
perbuatan tersebut sesuai dengan pemahaman mereka terhadap ajaran syariat Nabi?
Sekali lagi pertanyaan yang muncul, apakah kaum Wahaby berani menyatakan para
sahabat besar itu sebagai pelaku syirik atrau bid’ah karena telah bertawassul kepada yang
telah mati? Pertanyaan semacam ini belum pernah ada jawaban yang memuaskan dari
kalangan pengikut sekte Wahhaby, karena mereka akan berbenturan dengan pemuka
Salaf Saleh seperti sahabat-sahabat besar yang telah kami sebutkan di atas, termasuk
Ummulmukminin Aisyah, istri Nabi sendiri.
Guna mengakhiri kajian kali ini, kita akan memberikan satu contoh lagi dari riwayat
(atsar) para sahabat berkaitan dengan legalitas syariat Islam terhadap permasalahan
istighotsah / tawassul, terkhusus kepada pribadi yang dianggap telah mati.
6- Dalam sebuah riwayat panjang tentang kisah Usman bin Hunaif (salah seorang sahabat
mulia Rasul) yang disebutkan oleh at-Tabrani dari Abi Umamah bin Sahal bin Hunaif
yang bersumber dari pamannya, Usman bin Hunaif. Disebutkan bahwa, suatu saat
seorang lelaki telah beberapa kali mendatangi khalifah Usman bin Affan agar memenuhi
hajatnya. Saat itu, Usman tidak menanggapi kedatangannya dan tidak pula
memperhatikan hajatnya. Kemusian lelaki itu pergi dan ditengah jalan bertemu Usman
bin Hunaif dan mengeluhkan hal yang dihadapinya kepadanya. Mendengar hal itu lantas
Usman bin Hunaif mengatakan kepadanya: Ambillah bejana dan berwudhulah. Kemudian
pergilah ke masjid (Nabi) dan shalatlah dua rakaat. Seusainya maka katakanlah:
ا“
للھم إني أسألك و أتوجھ إلیك بنبینا محمد نبي الرحمة یا محمد إني أتوجھ بك إلي
ربي فتقضي لي حاجت
”…ي
(Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu dan mendatangi-Mu demi Nabi-Mu
Muhammad yang sebagai Nabi pembawa Rahmat. Wahai Muhammad, aku
menghadapkan wajahku kepadamu untuk memohon kepada Tuhanku. Maka kabulkanlah
hajatku)
Lantas sebutkanlah hajatmu. Beranjaklah maka aku akan mengiringimu. Kemudian lelaki
itu melakukan apa yang telah diberitahukan kepadanya. Selang beberapa saat, lantas ia
Legalitas Tawassul / Istighatsah
Di Sebarluaskan Oleh : http://www.aswaja-nu.blogspot.com
27
kembali mendatangi pintu rumah Usman. Usmanpun mempersilahkannya masuk dan
duduk di satu kursi dengannya, seraya berkata: Apakah gerangan hajatmu? Lantas ia
menyebutkan hajatnya, dan Usmanpun segera memenuhinya. Lantas ia berkata
kepadanya: Aku tidak ingat terhadap hajatmu melainkan baru beberapa saat yang lalu
saja. Iapun kembali mengatakan: Jika engkau memiliki hajat maka sebutkanlah
(kepadaku)! Setelah itu, lelaki itu keluar meninggalkan rumah Usman bin Affan dan
kembali bertemu Usman bin Hunaif seraya berkata: Semoga Allah membalas
kebaikanmu!? Dia (Usman bin Affan) awalnya tidak melihat dan memperhatikan hajatku
sehingga engkau telah berbicaranya kepadanya tentangku. Lantas Usman bin Hunaif
berkata: Demi Allah, aku tidak pernah berbicara tentang kamu kepadanya. Tetapi aku
telah melihat Rasulullah SAW didatangi dan dikeluhi oleh seorang yang terkena musibah
penyakit (info: ini mengisaratkan pada hadis tentang sahabat yang mendatangi Rasul
karena kehilangan penglihatannya yang diriwayatkan dalam kitab “Musnad Ahmad”
4/138, “Sunan at-Turmudzi” 5/569 hadis ke-3578, “Sunan Ibnu Majah” 1/441 dan
“Mustadrak as-Shohihain” 1/313) kehilangan kekuatan penglihatannya, lantas Nabi
bersabda kepadanya: Bersabarlah! Lelaki itu menjawab: Wahai Rasulullah, aku tidak
memiliki penggandeng dan itu sangat menyulitkanku. Lantas Nabi bersabda: Ambillah
bejana dan berwudhulah, kemudian shalatlah dua rakaat. Lantas bacalah doa-doa
berikut…. berkata Ibnu Hunaif: Demi Allah, kami tidak akan meninggalkan (cara
tawassul itu). Percakapan itu begitu panjang sehingga datanglah seorang lelaki yang
seakan dia tidak mengidap satu penyakit. (Lihat: Kitab “Mu’jam at-Tabrani” 9/30 nomer
8311, “al-Mu’jam as-Shoghir” 1/183, dikatakan hadis ini sahih)
Lihat hadis di atas, bagaimana sahabat Usman bin Hunaif memahami ajaran Rasul yang
mengajarkan diperbolehkannya tawassul kepada Rasul pada masa hidupnya namun ia
juga terapkan pada pasca kematian beliau. Apakah pemahaman sahabat Usman bin
Hunaif itu tidak bisa dibenarkan? Sebodoh itukah sahabat Usman bin Hunaif yang
menerapkan hadis Rasul tentang tawassul kepada yang masih hidup dengan legalitas
tawassul kepada yang mati? Jika ada pengikut sekte Wahhaby yang berani menyatakan
bahwa sahabat Usman bin Hunaif adalah bodoh maka jangan segan-segan juga untuk
menyatakan bahwa khalifah Ali bin Abi Thalib dan Ummulmukminin pun bodoh,
sebagaimana banyak sahabat lainnya. Kenapa tidak? Bukankah mereka semua
membenarkan ajaran tawassul / istighotsah kepada Rasul yang telah mati? Atau selama
ini pemahaman Wahhaby yang salah bahwa Nabi tidak ‘mati’, zahirnya saja ‘mati’,tetapi
beliau selalu hidup dan mendengar setiap permintaan yang diajukan umatnya kepada
beliau, sebagai sarana (wasilah) menuju Allah SWT.
Legalitas Tawassul / Istighatsah
Di Sebarluaskan Oleh : http://www.aswaja-nu.blogspot.com
28
Yang sangat mengherankan sekali adalah, Nashiruddin al-Bani (konon Ahli Hadis
kalangan Wahabi) dalam karyanya yang berjudul “at-Tawassul” yang tidak lagi dapat
meragukan kesahihan riwayat di atas (sebagaimana yang dinyatakan sahih oleh at-
Tabrani) ternyata jiwa kewahabiannya terlalu kental -sehingga fanatisme setaninya sangat
kuat membikin dia keras kepala dan jumud- dan tidak berani menolak fatwa
pendahulunya, Muhammad bin Abdul Wahhab dan Ibnu Taimiyah. Seakan fatwa kedua
orang itu adalah wahyu yang datang dari langit yang tidak boleh diganggu-gugat. Padahal
kejelasan dalil sudah nyata baginya. Keangkuhannya dalam menghadapi kenyataan (baca:
kebenaran) semacam inilah yang ternyata juga masih diikuti oleh para pengikut Wahhabi
di dunia ini, tidak terkecuali di Tanah Anir. Padahal, riwayat sahabat Usman bin Hunaif –
yang menjadi kepercayaan sahabat Ali dan Umar (Lihat: Kitab “Siar A’lam an-Nubala’”
2/320)- sebegitu jelasnya, sebagaimana keberadaan matahari di siang hari yang cerah.
Memang benar firman Allah SWT yang menyatakan bahwa, kita tidak akan dapat
memberi petunjuk kepada kaum yang telah tersesat, dan Allah akan menambah kesesatan
mereka. Bagaimana mungkin ajaran sekte (Wahabisme) yang bertumpu pada
pengingkaran hakekat itu akan mengaku sebagai pemurnian ajaran Islam? Namun,
bagaimanapun, kebenaran harus disampaikan, karena tugas kita hanyalah menyampaikan.
Ini semua adalah beberapa contoh dari riwayat-riwayat yang dapat kita kemukakan pada
kesempatan kali ini. Tentu masih banyak riwayat lain yang tidak akan mungin kita
sebutkan di sini, untuk mempersingkat waktu dan tempat. Yang jelas, Salaf Saleh telah
memberikan contoh kepada kita tentang pemahaman mereka terhadap ajaran Islam -yang
bersumber dari al-Quran dan Sunnah Rasul- terhadap legalitas tawassul / istighotsah
terhadap para kekasih Ilahi, walaupun pasca kematian zahir mereka.
Sumber :
http://salafyindonesia.wordpress.com